Diaspora Kaum Tionghoa di Tanah Jawara

Kesultanan Banten yang berdiri sekitar 1526-1813 Masehi menyambut hangat bangsa pendatang dari berbagai belahan dunia. Bangsa-bangsa pendatang itu hidup berdampingan di Banten Lama. Kota kosmopolitan yang menarik para pedagang dari berbagai macam penjuru dunia.

Ketua Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat (LP2M) Dr Mufti Ali menyebutkan Sultan Maulana Hasanudin telah menetapkan pondasi  multikulturalisme benar-benar menjadi asset penting bagi kemajuan dan kesejahteraan Banten. Misalnya, jabatan Shahbandar atau kepala pelabuhan sebagai ‘mesin uang Kesultanan’ selama lebih dari 150 tahun yang dipercayakan kepada orang yang paling kompeten meskipun orang Asing.

Jabatan perdana menteri yang bertanggung jawab dalam pembuatan masterplan istana dan proyek perumahan masa itu diserahkan kepada orang Tionghoa.

Dengan demikian, sikap Kerajaan Banten yang multi-kultural telah membuka pintu bagi bangsa-bangsa pendatang, termasuk Tionghoa. Sebagai bentuk kedekatan Tionghoa dan masyarakat asli Banten, berdiri vihara tua, yaitu Vihara Avalokiteswara. Vihara itu sudah ada sejak 1652 masehi dan masih bertahan hingga sekarang.

Salah satu ‘anak emas’ Sultan Ageng Tirtayasa yakni seorang arsitek berjuluk Kiai Ngabehi Cakradana merupakan seorang syahbandar Tionghoa yang dekat dengan Sultan. Ia sangat ulung dalam bisang pembangunan dan pertahanan maritim.

Di tangan dinginnya, banyak hasil bangunan yang masih bertahan hingga kini. Mulai dari Jembatan Rante dengan sistem buka tutup dan Benteng Speelwijk yang sebagian fondasinya dibuat Cakradana.

Selain itu, pedagang-pedagang  Eropa (Denmark, Perancis, Inggris, Portugis, Belanda) mendapatkan izin dari Sultan untuk mendirikan barak (loji) perdagangan mereka yang dapat menampung ratusan para pegawai Eropa bekerja dalam perusahaan dagang mereka.

Demikian pula orang Keling (Tamil), Benggala, India, Arab, Persia, Indocina, Melayu, dan Moro mendirikan komplek perumahan mereka karena mendapatkan izin dan perlindungan Sultan.

Berbagai suku yang berasal dari Nusantara juga tinggal di wilayah Kesultanan Banten ketika itu, orang Bali, Jawa, Madura, Aceh, Bugis, Mandar, Makassar, Palembang dan Lampung karena Sultan menganggap mereka sebagai potensi yang dapat menjadi elemen kemajuan ekonomi perdagangan kesultanan Banten. (Dilansir dari berbagai sumber)



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Diaspora Kaum Tionghoa di Tanah Jawara"

Posting Komentar