Pandemi Belum Surut, Pilkada Tetap Berlanjut

Oleh: Iim Muslimah S. Pd, Pemerhati kebijakan Publik

Jelang pelaksanaan Pilkada Serentak pada 9 Desember 2020 mendatang, tiga daerah di Banten kembali masuk zona merah COVID-19. Tiga daerah itu adalah Kabupaten Serang, Cilegon dan Tangerang Selatan (Tangsel).

Dikutip dari SuaraBanten.id, berdasar data dari infocorona.bantenprov.go.id/ tampak empat daerah di Provinsi Banten masuk zona merah. Antara lain adalah Kabupaten Serang, Kota Cilegon, Kota Tangerang, serta Kota Tangerang Selatan.

Sedangkan empat daerah lainnya, yaitu Kota Serang, Kabupaten Tangerang, Pandeglang dan Lebak berada di zona oranye.

Kekinian, di Kabupaten Serang terdapat kasus positif COVID-19 mencapai 1.950 orang, dengan rincian 262 masih dirawat, 640 orang sembuh, dan 27 orang meninggal.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Serang, Agus Sukmayadi menyatakan bahwa naiknya status dari zona oranye ke zona merah di wilayah Kabupaten Serang disebabkan adanya kelonggaran aktivitas masyarakat, terjadinya pelanggaran protokol kesehatan, dan kerumunan massa.

“Bila memperhatikan kegiatan masyarakat saat ini sudah berlangsung seperti kondisi normal, walaupun Satgas tetap mengimbau meningkatkan prokes,” kata Agus saat dikonfirmasi, Senin (30/11/2020).

Pilkada Tetap Lanjut?

Beberapa kalangan telah mengusulkan agar Pilkada serentak 2020 ditunda. Namun ternyata usulan tersebut sama sekali tidak dihiraukan. Justru banyak para paslon yang berkampanye tanpa memperhatikan protokol kesehatan. Memang tidak ada yang tahu sampai kapan pandemi akan berlalu. Namun mengapa harus tetap dilanjutkan? Bukankan kesehatan dan nyawa masyarakat lebih utama?

Pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan berpendapat, ada beberapa alasan mengapa Pilkada 2020 tetap diselenggarakan meski masih masa pandemi Covid-19.

Pertama, yakni kepentingan kepala daerah yang sedang mencalonkan diri kembali di pilkada tahun ini.

“Ada kepentingan dari petahana. Petahana dalam praktiknya berusaha supaya saat dia masih menjabat, digelar pilkada,” ujar Djohermansyah dalam acara Sarasehan Kebangsaan ke-33 yang digelar Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju secara daring, Kamis (24/9/2020).

Djohermansyah menambahkan, boleh jadi para petahana tersebut yakin lebih mudah memenangkan pilkada di masa seperti sekarang ini.

Kedua, kepentingan partai politik diyakini jadi penyebab pilkada 2020 akhirnya tetap dilaksanakan.

Djohermansyah menyebut, praktik mahar politik sudah menjadi rahasia umum dalam pelaksanaan pesta demokrasi.
Ketiga, Djohermansyah menduga kuat pengambil kebijakan tentang pilkada mempunyai jagoan sehingga pilkada pada akhirnya diputuskan tetap berlanjut meskipun wabah Covid-19 semakin merajalela.

Keempat, Djohermansyah mengatakan, tidak menutup kemungkinan peran pengusaha di dalam keputusan dilanjutkannya pilkada. (Kompas.Com)

Sebagaimana yang diungkapkan Pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan di atas, pilkada tetap digelar hanya untuk kepentingan pribadi paslon dan partai politik, bukan untuk kepentingan rakyat. Padahal pemimpin daerah dipilih untuk menjadi pengayom dan pengurus rakyat. Namun nyatanya nyawa dan kesehatan rakyat justru dikesampingkan.

Mengutamakan kepentingannya pribadi dan partai di atas kepentingan rakyat memang watak asli demokrasi.  Mahar politik yang tidak sedikit yang kadung digelontorkan untuk menjadi syarat memenangkan pertandingan, seperti yang diungkapkan pakar otonomi di atas membuat pilkada sulit dibatalkan.

Itulah mengapa demokrasi tidak akan membawa kesejahteraan rakyat. Mahar politik yang mahal tadi tidak mungkin diambil dari kantong pribadi. Sudah pasti ada pengusaha yang mensponsori. Maka setelah menjabat, mereka melupakan rakyat, karena sibuk menjadi begal untuk kembalikan uang ke sponsor sewa bus partai dan perkaya diri juga keluarganya.

Ketika Islam Menjadi Solusi Hakiki

Dalam sistem demokrasi, menempatkan kekuasaan di tangan rakyat, telah simbiois mutualisme antara berbagai kepentingan. Penguasa mendapatkan modal besar dari pengusaha untuk berkuasa. Setelah penguasa yang didukung pengusaha sukses menjadi penguasa, maka para cukong mendapatkan konsesi, berupa berbagai proyek dari penguasa. Begitu mekanisme transaksi-transaksi politik yang terjadi antar berbagai kekuatan dalam sistem demokrasi.

Politik transaksional kerap terjadi karena negara menerapkan konsep rulling party (partai berkuasa). Konsep tersebut justru tak dikenal dalam Islam. Oleh karena itu, meski Negara Islam dan beberapa pejabat pentingnya berasal dari partai tertentu, tetapi setelah mereka berkuasa, hubungan antara mereka dengan partai politik pengusungnya sama dengan yang lain

Negara Islam dan para pejabat publiknya akan menjaga jarak yang sama, dengan seluruh rakyatnya, baik dengan partai pengusungnya maupun bukan. Dengan begitu, tidak ada hubungan balas jasa atau balas dendam.

Sebab semua pihak, baik penguasa maupun rakyat, tunduk terhadap hukum syara’. Bukan kepentingan pribadi, kelompok atau partai. Inilah esensi dari kedaulatan di tangan syara’. Dengan cara ini tradisi transaksi dalam sistem politik demokrasi tidak akan terjadi dalam Negara Islam.

Sebab satu-satunya yang dapat mengendalikan dan mengontrol negara adalah hukum syariah. WaAllahu A’lam

(***)



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pandemi Belum Surut, Pilkada Tetap Berlanjut"

Posting Komentar