Selamat Jalan Abah Hamid, Sang Intelektual!
Abdul Hamid, sahabat terbaik, saya mendapat kabar pada tanggal 12-0202021, pukul 22.21 bahwa saturasimu mulai menurun di angka 70 dan kakimu mulai dingin. Artinya ketika menulis tulisan ini, dirimu masih ada di dunia, masih hidup, walaupun saya tidak bisa membayangkan tentang syakaratul maut yang sedang dirimu hadapi detik ini. Saya berharap, tulisan ini tidak perlu disebar dan dirimu sembuh. Di sisi lain, saya hanya ingin mengatakan bahwa sebagai sahabat, saya harus siap menerima kabar terpahit tentangmu. Saya menulis dengan hati yang terguncang sambil berusaha menyelundup ke masa lalu. Ah, saya takpernah menulis se-emosi ini.
Hamid, saya tidak berani mengatakan bahwa saya adalah sahabat terdekatmu. Terlalu banyak sahabat yang merasa dekat denganmu. Saya hanya hendak menulis, menjadi penyaksi ketika pertama berkenalan dan bergumul dengan intens di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten.
Jauh sebelumnya, ketika saya kuliah S-2 di UI pada tahun 2003 dan berasrama di Makara UI, saya mendengar namamu dari anak-anak mahasiswa primordial asal Banten yang terhimpun di Forkoma. Mereka bilang, Abdul Hamid adalah senior yang baik dan senang untuk membantu. Selalu mencari solusi ketika mahasiswa UI dari Banten membutuhkan bantuan. Waktu itu, saya pikir kamu semacam God Father karena mahasiswa juniormu itu begitu bangga denganmu. Dirimu terkenal di mata mereka.
Akhirnya, perjumpaan itupun terjadi. Pada 2004, dirimu nongol di Komunitas Rumah Dunia sambil membawa selebaran bahwa dirimu mencalonkan diri sebagai Anggota DPD. Waktu itu saya antara kesal dan kagum. Ini orang berani-beraninya datang ke Rumah Dunia sambil mengenalkan diri bahwa siap menjadi artikulator masyarakat Banten. Walaupun pada akhirnya menjadi politisi gagal, dari situ, sekilas, nampak betul kegigihanmu jika berharap sesuatu.
2006 kita sama-sama ditakdirkan menjadi dosen di Untirta. Dirimu di FISIP mengajar Ilmu Politik, saya di FKIP mengajar Ilmu Sastra. Keakrabanpun terjadi ketika kita tiba-tiba dicap sebagai dosen “rebel” bersama Anis Fuad dari FISIP, Fitrullah dari Metalurgi FT, Ferry Faturochman dari Fakultas Hukum karena kita berani menolak membayar sejumlah uang untuk menebus sertifikat kelulusan Pelatihan CPNS di Pondok Cabe. Idealisme kita dan dosen-dosen muda terusik dengan gelagat aneh dari birokrat di kampus waktu itu. Memang ada banyak dosen yang bayar, tapi tentu tidak semua. Mereka pikir, kita mudah ditaklukan. Kita melawan dengan tidak membayar uang sepeserpun dan mengambil sertifikat itu langsung ke Jakarta. Sebuah kerjaan yang aneh sekaligus membanggakan; kendati sudah bisa dipastikan bahwa kita dicemooh oleh dosen-dosen tua yang kadang norak yang sednag menjabat dan tidak mau memahami perubahan zaman.
Ngomong-ngomong soal pelatihan CPNS itu, saya menjadi saksi betapa dirimu selalu ingin menonjol dan selalu ingin menjadi leader. Dan itu terbukti ketika dirimu senang menjadi Pemimpin Upacara. Sementara, untuk urusan semacam itu, saya memilih balik kanan cari klinik, pura-pura sakit dan menyelesaikan beberapa buku yang saya bawa dari rumah. Terbukti, dirimu memang menonjol. Senang bertanya ke Widyaiswara dan akhirnya diganjar sebagai peserta terbaik di angkatan kita waktu itu. Tentu saya ikut bahagia, walaupun dalam kacamata saya, sama sekali bukan prestasi yang patut dibanggakan.
Terkait dengan kampus, tentu bukan kita saja yang punya nalar kritis. Sepertinya masih banyak dosen lain yang serupa walaupun mungkin takseliar kita dalam melakukan kritik-kritik tajam. Kita sering menggugat banyak keadaan mulai dari urusan kampus, Banten, hingga isu-isu nasional. Menghimpun diri ke dalam komunitas bernama Mazhab Pakupatan yang terdiri atas dirimu, Ferry, Anis dan Fitrullah adalah bentuk lain dari pertahanan diri bukan? Ya, kita tidak bisa sendirian menghadapi keadaan. Dan secara tidak sengaja, kita sama-sama jebolan HMI; usaha sampai yakin? Hahahaha… Alih-alih menjadi komunitas intelektual yang mendiskusikan begitu banyak mimpi, kita ternyata kian bergumul seperti saudara. Walaupun tidak sering, kita pernah berkumpul sambil membawa istri dan anak-anak kita. Bercanda selayaknya keluarga besar dan masih saja bermimpi hal-hal besar. Selebihnya, intensitas diskusi kita kian runcing.
Bahkan tentang Mazhab Pakupatanpun, dirimu selalu ingin menjadi pemimpin. Maka kita bersepakat dirimulah yang menjadi koordinator; kita menulis di berbagai media waktu itu mengatasnamakan Mazhab Pakupatan. Kita merespons urusan-urusan pendidikan, korupsi dan tentu saja politik lokal, sebuah tema yang sangat dirimu kuasai.
Untuk urusan pendidikan, kita kadang membuat pola persaingan sendiri. Tidak dirumuskan, tetapi terjadi. Dirimu dan Ferry mengambil kuliah S-3 di Jepang dan berhasil dengan cepat. Saya terbirit-birit menyelesaikan disertasi di Unpad. Kadang menyebalkan, tetapi mungkin disitulah persaingan positif terjadi. Ketika menulis ini, saya juga mendoakan semoga Fitrullah dapat menyelesaikan kuliah S-3-nya di Spanyol.
Namun, untuk urusan persahabatan ada waktunya memang pasang-surut. Tentu tidak penting saya menjabarkan persoalan-persoalan yang pernah kita lalui itu. Sepertinya, hanya Fitrullah saja yang takpernah bertengkar. Selebihnya, kita bertiga suka bergesek-gesekan dan ujung-ujungnya, Fitrullah, sang hafidz dan pembaca Quran keren itu yang menjadi muara curhat dan penjembatan.
Yang jelas, di dalam tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa dirimu adalah pekerja keras, cerdas, tangguh dan berani untuk bersikap. Ketika saya sering takpeduli mengurusi urusan kepangkatan di kampus, tiba-tiba saja dirimu sudah lektor kepala dan sedang mengurus menjadi profesor. Ketika di upacara kesadaran nasional, dirimu tiba-tiba saja dipanggil ke depan oleh Rektor dan diberikan ucapan selamat karena menjadi salah satu dosen yang dapat hibah penelitian ratusan juta rupiah, sementara saya ikut upacara sambil pegang segelas kopi dengan kacamata hitam, melihatmu dari barisan paling belakang.
Sebagai kaum intelektual, dirimu memang selalu ingin terbaik dan tampil paling depan. Di Ikatan Alumni UI, masih saja ingin jadi Ketua. Saya sih males. “Banyak hal yang harusnya bisa diurus oleh alumni UI Banten,” ungkapmu menggebu-gebu. Lalu terpilihlah dirimu menjadi Ketua dan saya dipaksa untuk terlibat di kepengurusan. Konyolnya, saya memang selalu berusaha ada di sampingmu dan memberi semangat.
Bahkan ketika dirimu mencalonkan jadi dekan di FISIP. Walau beda fakultas, saya ikut menemani dan berdiskusi tentang mimpi-mimpimu untuk memajukan kampus. Kendati kalah suara, dirimu takpatah semangat lalu menjadi senat univesitas.
Lalu kini dirimu terbaring di Rumah Sakit RSPAD Gatot Subroto karena terkena Covid 19. Awalnya, ketika saya WA dirimu dan dirimu mengabarkan terkena virus sialan itu, saya pikir bercanda.
[11:37, 1/30/2021] Firman Venayaksa: Bro damang? Mau tanya kalau perbaikan lalptop apple dimana di tangerang? Charger sepertinya rusak. Dalemannya juga. Harus diservis
[11:46, 1/30/2021] Hamid Untirta: Gw kena covid bro, gak damang, he he
[11:46, 1/30/2021] Hamid Untirta: Paling gampang di supermall karawaci, di lantai komputer2. Ada yg khusus perbaiki mac dan apple
[15:31, 1/30/2021] Firman Venayaksa: Beneran? Wih keren.
[16:04, 1/30/2021] Hamid Untirta: Komo deui lamun paeh, leuwih keren
[16:05, 1/30/2021] Firman Venayaksa: Saya juga kena. (OTG) Bulan lalu. Kuatlah. Rajin2 makan sehat aja dan vitamin.
[16:06, 1/30/2021] Firman Venayaksa: Ga usah dibawa panik. Nyanyi2 aja.
[16:07, 1/30/2021] Firman Venayaksa: Udah PCR? Saya (usahakan) tiap minggu tes antigen. Antisipasi.
[08:34, 2/1/2021] Firman Venayaksa: Ternyata masuk RS Bro? Saya pikir OTG. kumaha ayeuna kondisi? Semoga segera disembuhkan.
[09:07, 2/1/2021] Hamid Untirta: Iya
Itulah WA terakhir denganmu. Kemudian saya hubungi Ulil istrimu seminggu kemudian. Begini penggalan dialognya:
[17:45, 2/10/2021] Firman Venayaksa: semua harus strong. Hamid pasti sembuh.
[17:46, 2/10/2021] Ulil Abah Hamid:
[17:46, 2/10/2021] Ulil Abah Hamid: Kang Firman kesayangan Abah
[17:46, 2/10/2021] Ulil Abah Hamid: Selalu diomongkan kebaikannya
[17:46, 2/10/2021] Ulil Abah Hamid: Mohon doa bersama-sama
[17:47, 2/10/2021] Firman Venayaksa:
[17:50, 2/10/2021] Firman Venayaksa: Abah Hamid juga cinta banget sama Ulil. Apalagi kalau sudah ngomongin anaknya.
[18:07, 2/10/2021] Ulil Abah Hamid:
Mid, saya menulis ini bukan untuk memujimu selama hidup. Tetapi memang ada pergulatan intelektual yang takbisa didapatkan dari orang lain dan saya harus berbagi cerita kepada orang banyak, terutama yang mengenal dirimu. Saya jadi saksi, dirimu orang baik. Sekarang sudah jam 01.00. Barusan saya hubungi Ulil lagi untuk minta informasi.
[22:10, 2/12/2021] Firman Venayaksa: Tetap berdoa. Serahkan semua kepada Sang Pemilik jiwa-jiwa.
[23:42, 2/12/2021] Firman Venayaksa: bagaimana kondisi hamid sekarang? semoga membaik,
[24:43, 2/13/2021] Ulil Abah Hamid: Kami sedang menunggu kabar
[24:43, 2/13/2021] Ulil Abah Hamid: Tapi kami ikhlas melepas Abah ke pemiliknya
[24:52, 2/13/2021] Firman Venayaksa: Hamid orang baik. Allah mencintai Hamid. Mari kita berserah diri kepada-Nya.
Semoga ada keajaiban kawan, sehingga tulisan ini tidak perlu saya sebarkan. Jika dirimu melewati masa-masa kritis karena Covid 19 brengsek ini, biar dirimu saja yang membaca tulisan ini, atau atas persetujuanmu, saya tetap sebar tulisan ini sebagai tanda bahwa saya salah seorang yang mencintaimu dan kita akan lanjutkan persahabatan ini hingga ajal memisahkan.
Salam,
Dari sahabatmu
Firman Venayaksa
permainan poker yang gampang menangnya hanya di IONQQ
BalasHapusayo segera di coba permainan kami :D
WA: +855 1537 3217