Kepantasan Perempuan di Ranah Politik
Oleh: Arum Puspita, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia angkatan 2019
Memasuki abad ke-21 pola berpikir individu mengalami perkembangan yang dapat dikatakan sangat pesat dimana adanya dukungan dari perkembangan ilmu pengetahuan yang selalu terbarukan menjadikan terbukannya pemikiran yang lebih luas. Tetapi perkembangan ini masih terpapar dari apa yang namanya pengaruh sejarah. Dalam kesempatan ini, pengaruh yang diberikan berasal dari pemahaman orientalism.
Orientalism sendiri merupakan kajian gaya berfikir yang diciptakan oleh Barat (the occident) kepada Timur (the orient) yang mempelajari hal-hal yang berbau ketimuran terlebih Arab-sentris. Orientalisme sendiri pada dasarnya diciptakan guna memberi gambaran jati diri Barat yang sebenarnya dan membangun pandangan karakterisitik Timur sedemikian rupa hingga saat ini masih menjadi patokan. Salah satunya ialah kultur yang dibawa oleh kaum Arab dimana adanya budaya patriarki yang merujuk pada ajaran Islam terdahulu.
Edward W. Said menyatakan bahwa orientalism memiliki tujuan terselubung yang mana ingin membuktikan terkait keabsahan ajaran dan pengetahuan Islam. Orientalisme membuat keraguan terkait nilai peninggalan kebudayaan Islam dan ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh para cendekiawan muslim. Hal ini lambat laun memunculkan dampaknya, setelah melakukan perkembangan dan meluas orientalisme memunculkan aliran-aliran baru yang menyokong kekuatan paham orientalism dimata masyarakat (Barat). Salah satunya muncul gerakan feminism yang menuntut adanya kesetaraan dalam bidang apapun.
Feminisme dalam kesempatan kali ini mengangkat permasalahan terkait gaya berfikir dimana seorang pemimpin dalam ranah publik dikhususkan hanya untuk laki-laki saja sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Islam dan menjadi budaya (patriarkal). Perdebatan antara kedua kajian ini semakin meluas dan terus menjadi isu sensitif termasuk di Indonesia. Ketidakadilan gender di Indonesia masih sering dikarenakan oleh faktor kebudayaan.
Nilai dan budaya tersebut erat kaitannya dengan sesuatu hal yang dipandang pantas dan tidak pantas dilakukan oleh masyarakat atau bahkan individu yang lebih mengkhususkannya perempuan. Masuknya paham feminism di Indonesia memunculkan adanya tuntutan dari sebagian kelompok perempuan yang menginginkan untuk mampu ikut serta dalam ranah publik. Segala macam tuntutan dilayangkan kepada pemerintah Indonesia namun hal tersebut tidak langsung diberikan respon akibat latar belakang Indonesia menjadi salah satu negara mayoritas beragama muslim.
Pengeluaran Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 menjadi titik baru bagi perempuan di Indonesia, telah disahkannya kesepakatan mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Dan didukung dengan Propernas dan Inpres No.9 Tahun 2001 tentang partai politik yang didalamnya harus memperdayakan kemampuan perempuan untuk ikut berpartisipasi dan memberikan kesempatan bagi perempuan yang ingin memiliki posisi tinggi dalam struktur partai. Akan tetapi, dikarenakan sebagian kelompok laki-laki di partai politik berangkat pada ajaran Islam sehingga masih ditemukannya tindakan diskriminasi yang membuat perempuan tetap tidak mampu maju ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu menjadi anggota legislatif.
Seiring berjalannya waktu, kedua pemahaman yang terus beradu tersebut membuka jalan tengah dimana dikeluarkannya kebijakan yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu legislatif yang menetapkan minimal 30% kursi harus diisi oleh perempuan. Sejak itu antusias dari calon legislatif berjenis kelamin perempuan mulai meningkat untuk terjun kedalam ranah publik.
Pada dasarnya melibatkan perempuan kedalam parlemen untuk membawa kacamata atau perspektif baru dari perempuan dalam membantu menyusun kebijakan agar kedua sisi tersebut dapat merasakan keterwakilan. Terlebih keikut sertaan perempuan di parlemen mampu menyalurkan kebutuhan khusus bagi perempuan dan anak agar terakomodasi dengan baik yang selama ini mungkin belum tersentuh oleh para anggota parlemen terdahulu mayoritas seorang laki-laki.
Dalam mengetahui secara faktual aktivitas representasi perempuan dalam ranah politik dapat melihat kasus subnasional, Banten tahun 2009[1]. Setelah ditetapkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 2008, terjadi peningkatan jumlah peserta pemilu (perempuan) dari tahun 2004 yang awalnya hanya berjumlah enam orang menajadi tujuh belas orang dibarengi dengan pertumbuhan partai politik sebagai kendaraan individu walaupun keterlibatan perempuan untuk dapat menduduki kursi belum mencapai harapan yaitu 30%.
Perkembangan politik tanah air memang selalu menarik untuk dibahas terutama politik yang berkaitan dengan langkah perempuan selama ini dalam dunia politik dan pemerintahan guna membangun bangsa. Akan tetapi, menurut Canto dan Bernay (1998:97 keikutsertaan perempuan dalam ranah politik harus mengeluarkan tenaga lebih guna menerjang adanya batasan hirarki partai agar mampu menuju posisi yang diharapkan dan tidak termarjinalkan. Kondisi seperti itu membenarkan ternyata masih terpengaruh dari budaya terdahulu menjadikan kendala bagi perempuan untuk eksis dalam bidang politik, baik internal dan eksternal.
Dengan demikian, melihat fenomena seperti ini terus terjadi seharusnya menjadikan pemerintah untuk mengambil langkah affirmative action dimana mengeluarkan kebijakan yang bertujuan agar kelompok atau golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok atau golongan lain dalam bidang yang sama. Dan diharapkan hal tersebut mampu berjalan sesuai dengan tujuan awal dan mulai menghilangkan persepsi terkait kepantasan gender dalam menduduki profesi apapun. Terakhir, diharapkan pula ketentuan yang tertera pada beragam undang-undang mampu didorong dengan keterlibatkan perempuan sesuai keinginan individu bukan keterpaksaan sekadar memenuhi kuota partai untuk melanjutkan kontestasi politik.
Referensi:
Said, E. W. (1979). Orientalism. Vintage.
Teng, M. B. A. (2016). Orientalis dan Orientalisme dalam Perspektif Sejarah. Jurnal Ilmu Budaya
Wasi, I. (2020). Politik, Partai Politik, Dan Perempuan Frontstage And Backstage Sebuah
Catatan. Deepublish
[1] Berdasarkan tabel 2.5, hlm 25, Wasi, I. (2020). Politik, Partai Politik, Dan Perempuan Frontstage And Backstage Sebuah Catatan. Deepublish
(***)
The post Kepantasan Perempuan di Ranah Politik first appeared on BantenNews.co.id.
0 Response to "Kepantasan Perempuan di Ranah Politik"
Posting Komentar