Cendekiawan NU Ini Pilih Hapus PT 20 Persen, Ketimbang Dukung Presiden 3 Periode
RMOLBANTEN Isi Pasal 7 Undang Undang Dasar (UUD) 1945 mendadak masuk ke dalam diskursus politik yang menarik perhatian banyak pihak.
Ada sekelompok orang yang menggaungkan amandemen UUD 1945 untuk mengubah masa jabatan presiden yang diatur di dalam pasal tersebut.
Pasal 7 UUD 1945 menyatakan, "Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun. Sesudahnya mereka dapat dipilih dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan".
Teranyar, wacana ini coba dikait-kaitkan dengan nama Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang masih menjabat untuk periode keduanya saat ini.
Kesan mengait-ngaitkan itu semakin jelas tergambar dalam peresmian Sekretaris Nasional (Seknas) Jokowi-Prabowo (Jokpro) 2024 pada Sabtu siang tadi (19/6), yang dihadiri oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai relawan.
Melalui penasihatnya, M. Qodari, Relawan Jokpro 2024 ini meyakini Jokowi bisa kembali terpilih jika berpasangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Mereka tahu bahwa konstitusi tidak menghendaki presiden menjabat sebanyak tiga periode.
Namun menurut Qodari, hal itu tidak menjadi masalah, karena UUD 1945 katanya bisa diubah.
Di lain kesempatan, Jurubicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, kembali menegaskan bahwa Presiden masih bersikap tegak lurus dengan konstitusi, khususnya terkait Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur masa jabatan presiden dan wakil presiden hanya dua periode.
Bahkan kepada wartawan, Fadjroel kembali menyampaikan bantahan Jokowi mengenai wacana tiga periode yang merebak. Yaitu mengatakan bahwa orang-orang yang menggemakan isu ini memiliki motif-motif tertentu.
Ada tiga motif katanya. Pertama, ingin menampar muka Jokowi. Kedua, ingin cari muka, dan yang ketiga ingin menjerumuskan.
Dalam wacana yang berbeda namun juga terus berkembang, terdapat pengaturan mengenai pencalonan presiden dan wakil presiden. Di mana, terdapat batasan yang ditetapkan di dalam Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu.
Di dalam regulasi itu disebutkan, "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif".
Beberapa kalangan, termasuk pegiat pemilu dan sejumlah parpol merasa keberatan dengan aturan ini.
Sebabnya, batasan pencalonan presiden atau yang terkenal dengan istilah Presidential Threshold ini dianggap membatasi jumlah orang yang bisa ikut kontestasi politik Pilpres.
Bahkan disebutkan, anak-anak bangsa yang punya kompetensi dan integritas yang mumpuni sulit untuk menjadi capres atau cawapres, mengingat mereka harus "kawin" dengan parpol yang sudah dicap sebagai institusi "politis" yang menerapkan prinsip untung rugi dalam hal pencapresan.
Sehingga, muncul dugaan bahwa orang yang ingin menjadi capres atau cawapres harus memiliki modal financial yang tidak sedikit. Dari situ pun ada dugaan mengenai keterlibatan pemodal atau yang sering disebut sebagai "cukong".
Sepintas dua aturan saling terkait namun nyatanya memiliki efek politik yang berbeda.
Dua wacana di dalam konstruksi politik Indonesia ini turut disoroti Cendekiawan Muslim Nahdlatul Ulama (NU), Ulil Abshar Abdalla.
Ia menawarkan kepada masyarakat tentang satu hal yang lebih patut dibahas dan dikedepankan ketimbang satu hal lainnya, untuk supaya bisa diwujudkan di dalam politik saat ini.
Hal ini ia sampaikan melalui akun Twitternya, @ulil, pada Sabtu (19/6).
"Yang justru layak diusahakan itu bukan presiden tiga periode, tetapi menghapus sama sekali ketentuan presidential threshold sebesar 20 persen," kicau Ulil.
"Ini aturan (presidential threshold) hanya menguntungkan partai-partai besar yang kadang (atau malah kerap) tidak menjamin bisa menyuguhkan calon yang 'masuk akal'," tutupnya. [dzk]
from RMOLBanten.com https://ift.tt/3zGChuI
via gqrds
Ada sekelompok orang yang menggaungkan amandemen UUD 1945 untuk mengubah masa jabatan presiden yang diatur di dalam pasal tersebut.
Pasal 7 UUD 1945 menyatakan, "Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun. Sesudahnya mereka dapat dipilih dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan".
Teranyar, wacana ini coba dikait-kaitkan dengan nama Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang masih menjabat untuk periode keduanya saat ini.
Kesan mengait-ngaitkan itu semakin jelas tergambar dalam peresmian Sekretaris Nasional (Seknas) Jokowi-Prabowo (Jokpro) 2024 pada Sabtu siang tadi (19/6), yang dihadiri oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai relawan.
Melalui penasihatnya, M. Qodari, Relawan Jokpro 2024 ini meyakini Jokowi bisa kembali terpilih jika berpasangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Mereka tahu bahwa konstitusi tidak menghendaki presiden menjabat sebanyak tiga periode.
Namun menurut Qodari, hal itu tidak menjadi masalah, karena UUD 1945 katanya bisa diubah.
Di lain kesempatan, Jurubicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, kembali menegaskan bahwa Presiden masih bersikap tegak lurus dengan konstitusi, khususnya terkait Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur masa jabatan presiden dan wakil presiden hanya dua periode.
Bahkan kepada wartawan, Fadjroel kembali menyampaikan bantahan Jokowi mengenai wacana tiga periode yang merebak. Yaitu mengatakan bahwa orang-orang yang menggemakan isu ini memiliki motif-motif tertentu.
Ada tiga motif katanya. Pertama, ingin menampar muka Jokowi. Kedua, ingin cari muka, dan yang ketiga ingin menjerumuskan.
Dalam wacana yang berbeda namun juga terus berkembang, terdapat pengaturan mengenai pencalonan presiden dan wakil presiden. Di mana, terdapat batasan yang ditetapkan di dalam Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu.
Di dalam regulasi itu disebutkan, "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif".
Beberapa kalangan, termasuk pegiat pemilu dan sejumlah parpol merasa keberatan dengan aturan ini.
Sebabnya, batasan pencalonan presiden atau yang terkenal dengan istilah Presidential Threshold ini dianggap membatasi jumlah orang yang bisa ikut kontestasi politik Pilpres.
Bahkan disebutkan, anak-anak bangsa yang punya kompetensi dan integritas yang mumpuni sulit untuk menjadi capres atau cawapres, mengingat mereka harus "kawin" dengan parpol yang sudah dicap sebagai institusi "politis" yang menerapkan prinsip untung rugi dalam hal pencapresan.
Sehingga, muncul dugaan bahwa orang yang ingin menjadi capres atau cawapres harus memiliki modal financial yang tidak sedikit. Dari situ pun ada dugaan mengenai keterlibatan pemodal atau yang sering disebut sebagai "cukong".
Sepintas dua aturan saling terkait namun nyatanya memiliki efek politik yang berbeda.
Dua wacana di dalam konstruksi politik Indonesia ini turut disoroti Cendekiawan Muslim Nahdlatul Ulama (NU), Ulil Abshar Abdalla.
Ia menawarkan kepada masyarakat tentang satu hal yang lebih patut dibahas dan dikedepankan ketimbang satu hal lainnya, untuk supaya bisa diwujudkan di dalam politik saat ini.
Hal ini ia sampaikan melalui akun Twitternya, @ulil, pada Sabtu (19/6).
"Yang justru layak diusahakan itu bukan presiden tiga periode, tetapi menghapus sama sekali ketentuan presidential threshold sebesar 20 persen," kicau Ulil.
"Ini aturan (presidential threshold) hanya menguntungkan partai-partai besar yang kadang (atau malah kerap) tidak menjamin bisa menyuguhkan calon yang 'masuk akal'," tutupnya. [dzk]
Yang justru layak diusahakan itu bukan presiden tiga periode, tetapi menghapus sama sekali ketentuan presidential threshold sebesar 20%.
mdash; Ulil Abshar-Abdalla (@ulil) June 19, 2021
Ini aturan hanya menguntungkan partai2 besar yg kadang (atau malah kerap) tidak menjamin bisa menyuguhkan calon yg quot;masuk akal.quot;
from RMOLBanten.com https://ift.tt/3zGChuI
via gqrds
0 Response to "Cendekiawan NU Ini Pilih Hapus PT 20 Persen, Ketimbang Dukung Presiden 3 Periode"
Posting Komentar