Luhut Merit
RMOLBANTEN Oorang yang berprestasi cenderung lebih banyak mendapat tambahan beban. Berbagai macam keluhan muncul di seputar kejadian seperti itu. Kadang kontra produktif.
"Tugas ini enggak usah kita selesaikan cepat-cepat. Nanti kita dapat tambahan tugas baru lagi."
"Ini tidak adil. Beban kerja pegawai lain sedikit. Kita ditumpuki terus dengan pekerjaan baru."
"Mereka itu enak. Gajinya sama, pekerjaannya sedikit."
"Yang sulit-sulit pasti dibebankan kepada kita. Enak sekali mereka itu."
Tentu ada juga yang tidak mengeluh. Bahkan merasa bangga. Seperti merasa mendapat kepercayaan dari atasan.
Berbahagialah Anda yang tidak mengeluh itu. Padahal Anda mendapat beban berat terus menerus. Itu salah satu indikator bahwa Anda adalah orang yang mampu dan berprestasi.
Jenderal (purn) Luhut Binsar Pandjaitan tentu termasuk orang yang tidak suka mengeluh. Padahal tugas baru terus berdatangan. Pun yang di luar tupoksinya.
Terakhir, menurut berita media kemarin, Luhut mendapat tugas baru: menjadi ketua tim penggunaan barang produksi dalam negeri. Jabatan baru itu resminya bernama Ketua Tim Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI)
Tugas baru itu datang setelah ia terlihat berhasil di tugas berat sebelumnya: penanganan Covid-19. Cepat sekali angka Covid membaik. Hasil kerjanya begitu gemilang: PPKM di Jawa dan Bali itu.
Angka Covid Jawa-Bali memang turun drastis. Tinggal di kisaran 2.000 kasus -dari 40.000-an dua bulan lalu. Perubahan itu seperti sulapan. Virus Covid seperti kapas yang tiba-tiba ditiup angin.
Jumlah penduduk yang sudah vaksinasi pun meningkat pesat. Jakarta sudah 120 persen. Surabaya sudah 104 persen. Bali mencapai 95 persen.
Jawa Barat, Jateng, Jatim, dan Banten memang masih di kisaran 38 persen. Banyak kabupaten/kota yang sudah di atas itu, tapi prestasi tersebut, ''termakan'' oleh angka di beberapa kota/kabupaten yang tertinggal.
Memang prestasi Jenderal Luhut di penanganan Covid masih dibayangi rasa ngeri-ngeri-sedap: mungkinkah muncul gelombang ketiga? Mulai bulan Desember depan? Seperti yang dikhawatirkan satu-dua ahli bidang pandemi?
Saya menghubungi Prof Nidom lagi. Pendapatnya mirip dengan yang dikatakan ahli epidemiologi terkenal dr Dicky Budiman dari Griffith University Australia.
Kemungkinan muncul gelombang ketiga itu didasarkan perhitungan ilmiah. Misalnya lewat perhitungan statistik dengan variabel-variabelnya. Yakni karena telah ditemukan varian baru di suatu negara. Varian MU. Maka sudah bisa dihitung bagaimana pola penyebarannya. Bisa diproyeksikan pula kapan tiba di suatu tempat yang baru.
Tentu, kata Prof Nidom, itu bisa dicegah. Testing dan tracing menjadi penting. Demikian juga pembatasan mobilitas orang. Termasuk yang dari luar negeri. "Pakai masker juga salah satu cara pengendalian," ujar Prof Nidom.
PPKM dan vaksinasi adalah dua senjata utama Luhut selama ini. Lalu apa pula senjatanya untuk meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri?
Selama ini senjata utama yang kita kenal adalah TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Berlaku sejak Orde Baru. Persentasenya terus meningkat.
Prinsipnya: setiap proyek harus memakai komponen buatan dalam negeri. Persentasenya bervariasi, tergantung bidangnya. Antara 25 sampai 40 persen.
Kelihatannya model TKDN belum efektif. Harga produksi dalam negeri cenderung lebih mahal dari impor. Tidak di semua bidang tapi di banyak jenis. Terlalu banyak penyebabnya: perpajakan, bahan baku, dan produktivitas.
Dengan penunjukan Luhut Pandjaitan -bukan Menko Perekonomian- kelihatannya akan ada pemikiran baru: bagaimana produksi dalam negeri lebih diutamakan, tanpa mengakibatkan kenaikan harga-harga. Penunjukan Luhut Pandjaitan berarti akan terjadi pembongkaran sekat-sekat sektoral.
Luhut dikenal pula dengan julukannya sebagai menteri segala urusan. Ia sendiri Menko Kemaritiman dan Investasi. Tapi begitu banyak mendapat tugas tambahan.
Luhut memang menunjukkan prestasinya. Apa pun hambatan berhasil ia atasi. Soal nikel adalah contoh paling nyata. Kritik begitu keras. Mulai dari tenaga kerja asing sampai komunisme. Itu sama sekali tidak mengganggunya. Industrialisasi nikel pun terwujud di Sulawesi Tengah bagian miskin: Morowali.
Mungkin juga karena Presiden Jokowi merasa nyaman dengan Luhut. Ia seorang jenderal. Kopassus. Senior -73 tahun. Batak. Kristen. Tidak akan menjadi ancaman bagi posisi presiden. Akan beda kalau Luhut itu muda, Jawa, dan Islam.
Tapi penambahan beban pada orang yang berprestasi adalah gejala umum di bidang manajemen. Seorang atasan pasti ingin berprestasi. Berarti programnya harus terlaksana. Maka seorang atasan tidak akan memberi tugas kepada bawahan kalau sang bawahan sering tidak sukses di tugas sebelumnya.
Saya pikir yang seperti itu hanya terjadi di manajemen perusahaan. Ternyata juga sampai di pemerintahan -pun di tingkat yang paling atas.
Itu sekaligus sebagai indikasi bahwa merit sistem memang belum berjalan di mana-mana. Banyak yang terpilih menduduki jabatan ternyata bukan yang paling mampu. [red]
from RMOLBanten.com https://ift.tt/2ZsstqR
via gqrds
"Tugas ini enggak usah kita selesaikan cepat-cepat. Nanti kita dapat tambahan tugas baru lagi."
"Ini tidak adil. Beban kerja pegawai lain sedikit. Kita ditumpuki terus dengan pekerjaan baru."
"Mereka itu enak. Gajinya sama, pekerjaannya sedikit."
"Yang sulit-sulit pasti dibebankan kepada kita. Enak sekali mereka itu."
Tentu ada juga yang tidak mengeluh. Bahkan merasa bangga. Seperti merasa mendapat kepercayaan dari atasan.
Berbahagialah Anda yang tidak mengeluh itu. Padahal Anda mendapat beban berat terus menerus. Itu salah satu indikator bahwa Anda adalah orang yang mampu dan berprestasi.
Jenderal (purn) Luhut Binsar Pandjaitan tentu termasuk orang yang tidak suka mengeluh. Padahal tugas baru terus berdatangan. Pun yang di luar tupoksinya.
Terakhir, menurut berita media kemarin, Luhut mendapat tugas baru: menjadi ketua tim penggunaan barang produksi dalam negeri. Jabatan baru itu resminya bernama Ketua Tim Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI)
Tugas baru itu datang setelah ia terlihat berhasil di tugas berat sebelumnya: penanganan Covid-19. Cepat sekali angka Covid membaik. Hasil kerjanya begitu gemilang: PPKM di Jawa dan Bali itu.
Angka Covid Jawa-Bali memang turun drastis. Tinggal di kisaran 2.000 kasus -dari 40.000-an dua bulan lalu. Perubahan itu seperti sulapan. Virus Covid seperti kapas yang tiba-tiba ditiup angin.
Jumlah penduduk yang sudah vaksinasi pun meningkat pesat. Jakarta sudah 120 persen. Surabaya sudah 104 persen. Bali mencapai 95 persen.
Jawa Barat, Jateng, Jatim, dan Banten memang masih di kisaran 38 persen. Banyak kabupaten/kota yang sudah di atas itu, tapi prestasi tersebut, ''termakan'' oleh angka di beberapa kota/kabupaten yang tertinggal.
Memang prestasi Jenderal Luhut di penanganan Covid masih dibayangi rasa ngeri-ngeri-sedap: mungkinkah muncul gelombang ketiga? Mulai bulan Desember depan? Seperti yang dikhawatirkan satu-dua ahli bidang pandemi?
Saya menghubungi Prof Nidom lagi. Pendapatnya mirip dengan yang dikatakan ahli epidemiologi terkenal dr Dicky Budiman dari Griffith University Australia.
Kemungkinan muncul gelombang ketiga itu didasarkan perhitungan ilmiah. Misalnya lewat perhitungan statistik dengan variabel-variabelnya. Yakni karena telah ditemukan varian baru di suatu negara. Varian MU. Maka sudah bisa dihitung bagaimana pola penyebarannya. Bisa diproyeksikan pula kapan tiba di suatu tempat yang baru.
Tentu, kata Prof Nidom, itu bisa dicegah. Testing dan tracing menjadi penting. Demikian juga pembatasan mobilitas orang. Termasuk yang dari luar negeri. "Pakai masker juga salah satu cara pengendalian," ujar Prof Nidom.
PPKM dan vaksinasi adalah dua senjata utama Luhut selama ini. Lalu apa pula senjatanya untuk meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri?
Selama ini senjata utama yang kita kenal adalah TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Berlaku sejak Orde Baru. Persentasenya terus meningkat.
Prinsipnya: setiap proyek harus memakai komponen buatan dalam negeri. Persentasenya bervariasi, tergantung bidangnya. Antara 25 sampai 40 persen.
Kelihatannya model TKDN belum efektif. Harga produksi dalam negeri cenderung lebih mahal dari impor. Tidak di semua bidang tapi di banyak jenis. Terlalu banyak penyebabnya: perpajakan, bahan baku, dan produktivitas.
Dengan penunjukan Luhut Pandjaitan -bukan Menko Perekonomian- kelihatannya akan ada pemikiran baru: bagaimana produksi dalam negeri lebih diutamakan, tanpa mengakibatkan kenaikan harga-harga. Penunjukan Luhut Pandjaitan berarti akan terjadi pembongkaran sekat-sekat sektoral.
Luhut dikenal pula dengan julukannya sebagai menteri segala urusan. Ia sendiri Menko Kemaritiman dan Investasi. Tapi begitu banyak mendapat tugas tambahan.
Luhut memang menunjukkan prestasinya. Apa pun hambatan berhasil ia atasi. Soal nikel adalah contoh paling nyata. Kritik begitu keras. Mulai dari tenaga kerja asing sampai komunisme. Itu sama sekali tidak mengganggunya. Industrialisasi nikel pun terwujud di Sulawesi Tengah bagian miskin: Morowali.
Mungkin juga karena Presiden Jokowi merasa nyaman dengan Luhut. Ia seorang jenderal. Kopassus. Senior -73 tahun. Batak. Kristen. Tidak akan menjadi ancaman bagi posisi presiden. Akan beda kalau Luhut itu muda, Jawa, dan Islam.
Tapi penambahan beban pada orang yang berprestasi adalah gejala umum di bidang manajemen. Seorang atasan pasti ingin berprestasi. Berarti programnya harus terlaksana. Maka seorang atasan tidak akan memberi tugas kepada bawahan kalau sang bawahan sering tidak sukses di tugas sebelumnya.
Saya pikir yang seperti itu hanya terjadi di manajemen perusahaan. Ternyata juga sampai di pemerintahan -pun di tingkat yang paling atas.
Itu sekaligus sebagai indikasi bahwa merit sistem memang belum berjalan di mana-mana. Banyak yang terpilih menduduki jabatan ternyata bukan yang paling mampu. [red]
from RMOLBanten.com https://ift.tt/2ZsstqR
via gqrds
0 Response to "Luhut Merit"
Posting Komentar