Angka 244
RMOLBANTEN ANGKA itu terus menurun: tinggal 244 -tanggal 8 November kemarin.
Covid-19 di Indonesia membuat kagum dunia. Bagaimana bisa, negara berpenduduk 270 juta jiwa, yang terkena Covid tinggal 244 orang sehari itu.
Saya terus dihubungi teman-teman di luar negeri. Apalagi yang di Singapura itu. Sehari bisa telepon tiga kali: Mengapa? Mengapa? Mengapa?
Angka itu begitu menakjubkan. Terutama bila dibandingkan di Singapura. Yang penduduknya hanya 5 juta jiwa. Yang penderita barunya masih 5.000 orang sehari pekan lalu, dan sekitar 3.000 orang sehari pada 8 November itu.
"Di Singapura 3.000, itu sama dengan di Indonesia 1 juta," katanya. Lha, ini cuma 244 orang.
Pun lihatlah daftar provinsi ini: sudah 0 orang. Sudah sembilan provinsi yang tanpa penderita baru Covid-19.
Jambi : 0
Bengkulu : 0
Kepulauan Riau : 0
Sulawesi Utara : 0
Sulawesi Tenggara : 0
Gorontalo : 0
Sulawesi Barat : 0
Maluku : 0
Maluku Utara : 0
Itulah 9 provinsi yang merdeka pertama dari Covid-19. NTB dan Kalsel hampir saja merdeka: tinggal 1 orang. Lampung dan Kalteng tinggal 2 orang. Padahal Lampung begitu dekat Jakarta.
Jakarta sendiri tinggal 29 orang. Dan Bali tinggal 8 orang.
Begitulah hebatnya. Yang terbanyak pun tinggal 33 orang: Yogyakarta.
Ketika saya menulis kata ''Yogyakarta'' itu, !!!, ingatan saya melayang ke Butet Kertaradjasa. Ia kirim video pendek: !!! tenan. Sungguhan !!!.
Butet sudah bisa berdiri. Bahkan bisa berjalan thimik-thimikBerarti tahap herd immunity belum terbentuk di Singapura. Masih terlalu sedikit yang sudah terkena Covid.
Maka begitu pengendalian dilonggarkan melonjaklah angkanya. Itu berarti Singapura termasuk yang berbangga-bangga ke hulu, bersesak-sesak ke tepian.
Melihat hebatnya Indonesia, beberapa teman yang dulu mengungsi ke Singapura segera balik kucing.
Awalnya, sebagian kecil dari pengusaha besar itu ngeri melihat serinya Covid di Indonesia. Mereka pun mengungsi ke Singapura.
Kini angkanya terbalik: mereka pun mengungsi lagi ke kampung halaman sendiri.
Saya masih mikir: benarkah semua itu karena herd immunity?
Kalau benar, bukankah berarti Tiongkok kini dalam bahaya?
Bukankah selama ini Tiongkok kita unggulkan setinggi bintang di dekat langit? Sebagai negara tersukses mengendalikan Covid?
Kita pun pernah bertanya dengan bangga: bagaimana bisa, negeri berpenduduk 1,3 miliar manusia itu tidak sampai 100.000 orang yang terjangkit Covid?
Dari sinilah saya mulai paham: mengapa terjadi kepanikan yang hebat di Tiongkok sepanjang pekan lalu. Penduduk di hampir semua kota tiba-tiba menyerbu toko dan supermarket. Mereka menguras habis stok yang ada di toko. Barang apa pun. Dengan harga naik sekali pun. Terutama makanan dan keperluan harian.
Belanja panik itu berawal dari pernyataan kementerian perdagangan di sana: agar tiap rumah mencukupi kebutuhan makanan mereka -tanpa memperhatikan penjelasan mengapa.
Awalnya mereka mengira terlalu jauh: akan terjadi perang. Tiongkok akan segera menyerbu Taiwan. Suasana saling ancam memang meningkat belakangan ini.
Rupanya bukan itu. Mereka pun khawatir: mungkin akan dilakukan lockdown ketat lagi.
Untuk apa? Bukankah penderita baru Covid di sana sudah sangat rendah. Tidak sampai 50 orang setiap hari. Tiongkok ingin membuat angka itu menjadi 0. Dengan cara mereka sendiri. Terutama karena di sana segera dilangsungkan Olimpiade. Bulan depan. Yakni Olimpiade musim dingin. Angka 0 harus dicapai sebelum itu.
Sampai kemarin tidak ada juga pengumuman lockdown. Lalu mengapa sampai terjadi panic buying? Akhirnya Anda pun tahu mengapa.
Yang jelas, harapan saya untuk bisa segera ke 'kampung halaman kedua' harus ditunda dulu. Padahal sudah kangen sekali: para perawat di rumah sakit itu terbayang terus di luar sadar. [red]
from RMOLBanten.com https://ift.tt/3H5cjVr
via gqrds
Covid-19 di Indonesia membuat kagum dunia. Bagaimana bisa, negara berpenduduk 270 juta jiwa, yang terkena Covid tinggal 244 orang sehari itu.
Saya terus dihubungi teman-teman di luar negeri. Apalagi yang di Singapura itu. Sehari bisa telepon tiga kali: Mengapa? Mengapa? Mengapa?
Angka itu begitu menakjubkan. Terutama bila dibandingkan di Singapura. Yang penduduknya hanya 5 juta jiwa. Yang penderita barunya masih 5.000 orang sehari pekan lalu, dan sekitar 3.000 orang sehari pada 8 November itu.
"Di Singapura 3.000, itu sama dengan di Indonesia 1 juta," katanya. Lha, ini cuma 244 orang.
Pun lihatlah daftar provinsi ini: sudah 0 orang. Sudah sembilan provinsi yang tanpa penderita baru Covid-19.
Jambi : 0
Bengkulu : 0
Kepulauan Riau : 0
Sulawesi Utara : 0
Sulawesi Tenggara : 0
Gorontalo : 0
Sulawesi Barat : 0
Maluku : 0
Maluku Utara : 0
Itulah 9 provinsi yang merdeka pertama dari Covid-19. NTB dan Kalsel hampir saja merdeka: tinggal 1 orang. Lampung dan Kalteng tinggal 2 orang. Padahal Lampung begitu dekat Jakarta.
Jakarta sendiri tinggal 29 orang. Dan Bali tinggal 8 orang.
Begitulah hebatnya. Yang terbanyak pun tinggal 33 orang: Yogyakarta.
Ketika saya menulis kata ''Yogyakarta'' itu, !!!, ingatan saya melayang ke Butet Kertaradjasa. Ia kirim video pendek: !!! tenan. Sungguhan !!!.
Butet sudah bisa berdiri. Bahkan bisa berjalan thimik-thimikBerarti tahap herd immunity belum terbentuk di Singapura. Masih terlalu sedikit yang sudah terkena Covid.
Maka begitu pengendalian dilonggarkan melonjaklah angkanya. Itu berarti Singapura termasuk yang berbangga-bangga ke hulu, bersesak-sesak ke tepian.
Melihat hebatnya Indonesia, beberapa teman yang dulu mengungsi ke Singapura segera balik kucing.
Awalnya, sebagian kecil dari pengusaha besar itu ngeri melihat serinya Covid di Indonesia. Mereka pun mengungsi ke Singapura.
Kini angkanya terbalik: mereka pun mengungsi lagi ke kampung halaman sendiri.
Saya masih mikir: benarkah semua itu karena herd immunity?
Kalau benar, bukankah berarti Tiongkok kini dalam bahaya?
Bukankah selama ini Tiongkok kita unggulkan setinggi bintang di dekat langit? Sebagai negara tersukses mengendalikan Covid?
Kita pun pernah bertanya dengan bangga: bagaimana bisa, negeri berpenduduk 1,3 miliar manusia itu tidak sampai 100.000 orang yang terjangkit Covid?
Dari sinilah saya mulai paham: mengapa terjadi kepanikan yang hebat di Tiongkok sepanjang pekan lalu. Penduduk di hampir semua kota tiba-tiba menyerbu toko dan supermarket. Mereka menguras habis stok yang ada di toko. Barang apa pun. Dengan harga naik sekali pun. Terutama makanan dan keperluan harian.
Belanja panik itu berawal dari pernyataan kementerian perdagangan di sana: agar tiap rumah mencukupi kebutuhan makanan mereka -tanpa memperhatikan penjelasan mengapa.
Awalnya mereka mengira terlalu jauh: akan terjadi perang. Tiongkok akan segera menyerbu Taiwan. Suasana saling ancam memang meningkat belakangan ini.
Rupanya bukan itu. Mereka pun khawatir: mungkin akan dilakukan lockdown ketat lagi.
Untuk apa? Bukankah penderita baru Covid di sana sudah sangat rendah. Tidak sampai 50 orang setiap hari. Tiongkok ingin membuat angka itu menjadi 0. Dengan cara mereka sendiri. Terutama karena di sana segera dilangsungkan Olimpiade. Bulan depan. Yakni Olimpiade musim dingin. Angka 0 harus dicapai sebelum itu.
Sampai kemarin tidak ada juga pengumuman lockdown. Lalu mengapa sampai terjadi panic buying? Akhirnya Anda pun tahu mengapa.
Yang jelas, harapan saya untuk bisa segera ke 'kampung halaman kedua' harus ditunda dulu. Padahal sudah kangen sekali: para perawat di rumah sakit itu terbayang terus di luar sadar. [red]
from RMOLBanten.com https://ift.tt/3H5cjVr
via gqrds
0 Response to "Angka 244"
Posting Komentar