Pahitnya Kopi Tak Sepahit Jalan Hidup

RMOLBANTEN. Meski tak lagi memiliki tangan kanan, mengaduk dan menaburkan air untuk segelas kopi tak menjadi halangan bagi penyandang disabilitas Rendi Agustra.

Bak barista profesional, pria kelahiran Riau ini menyajikan berbagai kopi olahan sendiri. Itu lah keseharian pria tanpa satu lengan ini. Ia menamai brand kopinya dengan nama Kito Rato. Dalam bahasa Melayu Kito Rato berarti kita setara atau disamaratakan.

"Filosofi dari kata Kito Rato, kami ingin disamaratakan dengan orang yang normal," kata Rendy berkisah.

Rendy bercerita sejak beberapa tahun ini Rendi kehilangan lengan kanan karena kecelakaan kerja saat bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta.

Meski kehilangan tangan kanannya karena diamputasi setelah tersengat listrik saat bekerja. Kehilangan bukan berarti menyerah. Sebaliknya, momen tersebut menjadikan lebih baik dan berarti bagi orang lain.

Di 2019, Rendi pun memulai usaha berjualan kopi dengan konsep food truck. Mobil Volkswagen tua dimodifikasi bak kedai kopi. Di dalam mobil buatan Jerman itu terlihat berbagai perlengkapan pengolahan kopi.

Berjalannya waktu, usahanya dimulai. Tak menunggu lama mencicipi keuntungan dari jualan kopi. Sayangnya, pandemi Covid-19 keburu menghantam dunia.

Kebijakan pembatasan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dikeluarkan pemerintah pusat mewajibkan ia menutup usahanya.

"Baru enam bulan buka dihantem pandemi. Sejak awal pandemi tutup usaha selama tiga bulan," katanya sambil meracik kopi pesanan pelanggannya.

Rendy pun harus putar otak untuk melanjutkan usahanya. Pria berusia 27 tahun pun mulai belajar penjualan kopi melalui online. Ia menjual kopi dalam kemasan cup Rp 15 ribu. Sedangkan, dalam kemasan botol satu liter dibanderol Rp 75 ribu.

Seminggu belajar pemasaran melalui platform digital ini kembali memulai berjualan kopi. Sedikit demi sedikit penjualan pun terlihat meskipun jauh dari harapan.

"Sebelum pandemi Covid-19 dalam sebulan bisa menghasilkan Rp 50 juta termasuk diundang di event tertentu. Tapi, pas covid-19 omset turun sampai 70 persen. Sedih mas kalau ingat masa sulit itu," ujar pria berkumis ini.

Tetapi hari demi hari, secercah harapan pun mulai terlihat. Meskipun berjualan melalui aplikasi, penjualan mulai meningkat. Dalam sehari puluhan cup maupun dalam kemasan satu liter terjual.

"Tapi saya lebih suka berjualan offline atau mangkal. Bisa berinteraksi dengan pelanggan. Tahu kekurangan rasa kopi saya dari pelanggan," ucap Rendy.

Sejak setelah lebaran hingga kini, Rendy sudah berjualan menggunakan mobil tuanya yang dimodifikasi.

"Jangan patah semangat bagi penyandang disabilitas. Kesempatan untuk berkarya dan berkreasi terbuka. Mudah-mudahan pandemi ini cepat berakhir," harapnya.

Rendy, satu dari puluhan penyandang disabilitas dibawah binaan Kita Setara. Kita Setara salah satu komunitas yang konsen memberikan pelatihan keterampilan kepada penyandang disabilitas.

"Pandemi sangat berpengaruh terhadap usaha maupun mental teman-teman. Salah satunya, Kito Rato yang dikelola Rendy," ujarnya.

Sebelum pandemi, Kito Rato cepat berkembangnya. Mulai membuka satu stand di BSD berkembang hingga bisa membuka tiga cabang.

"Namun sayangnya, pandemi terpaksa harus menutup dua cabang," jelas Sociopreneur Kita Setara, Agus.

Di tahun ini, Kita Setara telah memberikan pelatihan ketrampilan bagi disabilitas agar bisa hidup mandiri. Pelatihan tersebut di antaranya, menjahit, barista, literasi keuangan hingga jualan online.

"Alhamdulillah sejauh ini pelatihan berjalan dengan baik. Kami juga dibantu beberapa perusahaan yang peduli terhadap teman-teman disabilitas," tandasnya. [ars]

from RMOLBanten.com https://ift.tt/30rcfyM
via gqrds

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pahitnya Kopi Tak Sepahit Jalan Hidup"

Posting Komentar