Miris! Banten Masuk 8 Besar Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak

SERANG – Provinsi Banten menempati peringkat ke-8 nasional dalam jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Data ini menunjukkan bahwa kasus kekerasan di Banten sudah berada pada level mengkhawatirkan.

Berdasarkan data Simfoni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) per 15 Desember 2025, Banten mencatat 1.254 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jumlah tersebut menempatkan Banten di posisi delapan tertinggi dari 38 provinsi di Indonesia.

Ketua Komnas PA Provinsi Banten, Hendry Gunawan, menyebut angka itu sebagai rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir. Ia mencatat, kasus kekerasan meningkat signifikan dari 1.114 kasus pada 2024 dan melonjak jauh dibandingkan 2020.

“Per 18 November 2025 saja, kasus sudah mencapai 1.156 dan masih sangat mungkin bertambah hingga akhir Desember,” kata Hendry, Selasa (16/12/2025).

Pria yang akrab disapa Igun itu menjelaskan bahwa kasus kekerasan menyebar di seluruh kabupaten dan kota di Banten, dengan konsentrasi tertinggi di wilayah metropolitan Tangerang Raya.

Data Komnas PA Provinsi Banten menunjukkan Kota Tangerang Selatan (Tangeel) mencatat angka tertinggi dengan 293 kasus. Posisi berikutnya ditempati Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang yang masing-masing mencatat 254 kasus.

“Wilayah lain juga melaporkan angka signifikan, yakni Kota Cilegon 111 kasus, Kabupaten Serang 100 kasus, Kabupaten Lebak 97 kasus, Kabupaten Pandeglang 83 kasus, dan Kota Serang 62 kasus,” papar Igun.

Ia menegaskan, pola sebaran ini membuktikan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah sistemik yang terjadi di wilayah metropolitan maupun nonmetropolitan.

Ironisnya, kata Igun, seluruh kabupaten dan kota di Banten hingga 2025 telah menyandang predikat Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dengan berbagai tingkatan.

Bahkan, Kota Tangsel meraih predikat KLA tingkat utama, disusul Kota Tangerang dengan predikat Nindya. Sementara Kabupaten Tangerang, Kabupaten Lebak, Kota Cilegon, Kabupaten Serang, dan Kota Serang meraih predikat Madya, serta Kabupaten Pandeglang berada di tingkat Pratama.

“Komnas PA Provinsi Banten sangat prihatin. Predikat Layak Anak seharusnya menjadi pijakan untuk bekerja lebih keras, bukan sekadar pencapaian administratif,” tegasnya.

Igun mengakui bahwa Banten telah memiliki fondasi regulasi yang kuat melalui Perda Nomor 7 Tahun 2024 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Seluruh kabupaten dan kota juga telah memiliki regulasi serupa. Namun, ia menilai implementasi di lapangan masih menjadi tantangan besar.

Menurutnya, strategi penanganan kekerasan harus disesuaikan dengan karakter wilayah. Untuk Tangerang Raya yang menyumbang 801 kasus, ia mendorong pendekatan metropolitan terpadu, termasuk pembentukan satuan tugas bersama untuk menangani kompleksitas kawasan padat, sektor informal, dan ancaman dunia maya.

Di wilayah industri seperti Cilegon, ia menilai faktor mobilitas dan lingkungan kerja orang tua perlu menjadi fokus. Sementara di Kabupaten Serang, penguatan sistem hingga tingkat desa menjadi kunci.

Untuk wilayah dengan geografis luas seperti Kabupaten Lebak, Igun mendorong pendekatan melalui tokoh adat dan layanan patroli keliling. Kota Serang perlu mengkaji faktor pelindung yang membuat angkanya relatif lebih rendah agar bisa direplikasi di daerah lain.

“Kabupaten Pandeglang harus menjadi prioritas mutlak. Angka 83 kasus sangat mungkin hanya puncak gunung es,” ujarnya.

Ia juga menyoroti infrastruktur perlindungan di sektor pendidikan. Berdasarkan data Kemendikdasmen, cakupan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di Banten mencapai rata-rata 93,53 persen, bahkan menembus 96,39 persen di Kota Tangerang.

Namun, angka tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan pelaksanaan di lapangan.

“Banyak sekolah sudah tercatat memiliki TPPK, tetapi guru dan warga sekolah tidak memahami peran dan fungsinya. Dalam beberapa kunjungan, kami menemukan guru bahkan tidak tahu sekolahnya memiliki TPPK,” ungkapnya.

Kondisi ini, lanjut Igun, membuat mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan berjalan mandek. Sekolah kerap menyelesaikan kasus secara individual tanpa mengaktifkan prosedur restoratif yang seharusnya dijalankan TPPK.

“Akibatnya, akar masalah tidak tersentuh dan korban tidak mendapat pemulihan yang layak,” tegasnya.

Karena itu, ia mendorong pergeseran fokus dari sekadar pembentukan TPPK ke penguatan fungsi melalui sosialisasi masif, pelatihan berjenjang, dan pengawasan efektivitas.

“TPPK tidak boleh hanya ada di atas kertas. Setiap sekolah harus mampu menciptakan lingkungan belajar yang aman dan responsif terhadap kekerasan,” katanya.

Igun mengingatkan bahwa setiap angka dalam laporan ini mewakili seorang anak yang menjadi korban.

“Mereka tidak membutuhkan penghargaan di atas kertas, tetapi rasa aman yang nyata di rumah, sekolah, dan lingkungannya. Itulah makna Layak Anak yang sesungguhnya,” ucapnya.

Di akhir pernyataannya, Komnas PA Provinsi Banten mengapresiasi upaya DP3A sebagai leading sector, Dinas Sosial dalam rehabilitasi korban, serta Polda Banten dan jajaran Polres dalam penegakan hukum yang cepat dan sensitif.

Ia menyerukan sinergi terukur dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat dan dunia usaha, untuk menjadikan sistem perlindungan anak di Banten benar-benar bekerja.

“Kolaborasi inilah kunci untuk memutus paradoks antara gelar Layak Anak dan realita kekerasan yang masih terjadi,” pungkasnya.

Penulis : Tb Moch. Ibnu Rushd
Editor : Gilang Fattah

The post Miris! Banten Masuk 8 Besar Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak appeared first on BantenNews.co.id -Berita Banten Hari Ini.



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Miris! Banten Masuk 8 Besar Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak"

Posting Komentar