Mundinglaya Di Kusumah

SAYA dilahirkan di Denpasar namun tumbuh-kembang di Semarang sebelum melanjutkan studi kemudian mengajar di Jerman.

Maka saya tidak bisa berbahasa Sunda dan kurang mengenal kebudayaan Sunda kecuali dalam upaya mempelajari musik sangat mengagumi musik Sunda.

Kebudayaan Sunda

Musik Sunda memiliki panca nada yang pada hakikatnya merupakan versi minor pentatonik Jawa Tengah berdasar kaidah mayor minor titinada diatonik musik Barat.

Menarik adalah saya merasakan sukma suasana liris-puitis musik Sunda juga pada musik Jepang yang memiliki pentatonik serupa musik Sunda. Saya terpesona oleh gerak-gerik penari Jaipong yang memang tiada dua di khasanah seni tari planet bumi ini.

Dan tentu saja saya terpesona oleh Wayang Golek yang pada hakikatnya merupakan versi tiga dimensi Wayang Kulit Jawa Tengah dan Bali namun memiliki kemadirian estetikal tersendiri.

Secara subyektif menurut selera saya pribadi, Wayang Golek memiliki bentuk desain visual lebih keren ketimbang wayang boneka Asia lainnya termasuk Mua Roi Nuoc alias wayang-boneka-air Vietnam yang tersohor akibat promosi pemerintah Vietnam untuk menjaring kunjungan wisata internasional.

Saya juga mencoba menelusuri alam legenda rakyat Sunda diawali dengan Sangkuriang kemudian Lutung Kasarung.

Saya juga tertarik kepada Carita Pantun Mundinglaya Di Kusumah dan mencoba mempelajarinya dari berbagai sumber mulai dari komik sampai ke hasil kajian struktural semiotik dan etnopedagogik dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Dr. Dedi Koswara.

Saripati

Beberapa saripati yang dapat saya coba simpulkan dari hasil kajian Dedi Koswara terhadap Carita Pantun Mundinglaya di Kusumah adalah bahwa mahakarya seni sastra Sunda ini memiliki struktur cerita sebagaimana struktur cerita pantun pada umumnya yang tersaji dalam susunan cerita terdiri dari (a) rajah pamuka (b) mangkat cerita (c) deskripsi kondisi kerajaan dan tokoh cerita yang berpetualang (d) rajah pamunah atau rajah panutup.

Di samping kekhasan struktur alurnya, juga hadir ciri-ciri dalam teknik naratif yang berbeda dengan sastra lisan Sunda lainnya.

Di dalam cerita pantun ini ditemukan pola formula dan formulaik, seperti larik-larik yang berjumlah delapan suku kata. Oleh sebab itu, dilihat dari segi bentuknya, cerita pantun itu berbentuk puisi naratif.

Amanat

Tema yang dapat diangkat dari adalah (a) kesabaran, ketekunan, kesetiaan, keteguhan, dan adat sopan santun akan membawa kebahagiaan, dan (b) upaya mendekatkan diri kepada Yang Mahakuasa adalah suatu cara yang ditempuh manusia untuk mendapatkan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.

Dari tema tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah amanat yang lebih spesifik, yaitu (a) manusia hendaknya bersabar dan bertawakal dalam menghadapi segala cobaan dan penderitaan hidup, (b) manusia hendaknya selalu mengindahkan nasihat orang tua agar hidup selamat dan sejahtera di dunia dan akhirat, (c) seorang anak hendaknya senantiasa berbakti, taat dan patuh kepada orang tua.

Dilihat dari lensa pendidikan karakter bangsa, Carita Pantun Mundinglaya Di Kusumah mengisyaratkan hadirnya nilai-nilai pendidikan karakter yang menjadi salah satu indikator karakter peradaban masyarakat Sunda yaitu, luhur darajat (mulia), hirup bagja (hidup bahagia), hurip (hidup sejahtera), cageur (sehat lahir batin), bageur (berakhlak baik), bener (benar), pinter (cerdas), jujur, ludeung (berani), silih asih (saling mengasihi), silih asuh (saling menjaga), dan silih asah (saling mencerdaskan).

Mohon dimengerti maka mohon dimaafkan bahwa saya melakukan salah-kutip, salah-tulis serta salah-tafsir akibat saya memang masih baru pada tahap awal pemula pembelajar kebudayaan Sunda yang luar biasa adiluhur. Ibarat sekolah kebudayaan Sunda saya baru pada tahap playgroup.[**]

Penulis adalah pembelajar kebudayaan Nusantara



from RMOLBanten.com http://bit.ly/31yKCzN
via gqrds

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mundinglaya Di Kusumah"

Posting Komentar