Resolusi Konflik PB HMI, Perlukah?

APABILA kita ingin jujur membandingkan dinamika setiap organisasi yang ada dalam Kelompok Cipayung Plus. Maka ada satu fakta unik, yang selalu melekat terjadi dalam tubuh organisasi Kelompok Cipayung Plus.

Fakta unik itu diantaranya adalah 'Konflik' organisasi yang terjadi dalam tubuh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Secara umum, sifat dari pada 'Konflik' dalam sebuah organisasi, merupakan sebuah keniscayaan, dan itu terjadi dalam semua organisasi.

Meski demikian, dibandingkan dengan konflik yang lain, tampaknya tidak ada sebuah konflik hebat, teratur dan dinamis, selain konflik organisasi yang terjadi ditubuh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Sebelum lebih jauh, penulis menguraikan konflik yang diterjadi dalam tubuh HMI, ada beberapa pertanyaan penting, yang harus menjadi perhatian bersama, khususnya bagi pihak-pihak yang berkecimpung dalam kelompok Cipayung.

Pertanyaan tersebut diantaranya terdiri dari: Apakah ada organisasi mahasiswa yang pernah mengalami dualisme dalam kepengurusan, selain HMI ? Apakah ada, disaat kepengurusan sebuah organisasi yang terbelah (dualisme) kepengurusan, menjalankan program organisasi secara beriringan ? Apakah ada konflik organisasi yang berujung pada aksi saling pecat antara Ketua Umum dengan Sekertaris Jenderal?

Tentu jawabannya adalah Ada, dan itu terjadi dalam tubuh organisasi mahasiswa bernama Himpunan Mahasiswa Islam, yang merupakan bagian dari organisasi Kelompok Cipayung Plus.

Pasca selesainya Kongres Ke-XXX di Ambon, yang secara resmi menetapkan Kakanda Respiratori Saddam Al Jihad, sah dinyatakan sebagai Ketua Umum.

HMI sebagai organisasi mahasiswa, mulai mengalami gejolak dan hal itu terjadi ditingkat Pengurus Besar. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab, kenapa organisasi yang berdiri pada 5 Februari 1947 ini mengalami gejolak.

Pertama, faktor kemenangan Saddam sendiri, sebagai Ketua Umum di Kongres Ke-XXX di Ambon, yang hanya satu putaran dan itu bersifat Aklamasi. Kedua, faktor suksesi (Kemenangan) Saddam sendiri dalam Kongres di Ambon, yang banyak ditopang oleh banyak kekuatan koalisi, sehingga raihan suara tersebut, tidak murni suara Saddam, akan tetapi suara yang dimiliki para kandidat-kandidat calon Ketua Umum di Kongres Ambon. Dalam istilah atau kamus HMI, hal ini disebut dengan nama 'Gerbong'.

Ketiga, adanya tindakan atau keputusan di luar kesepakatan, yaitu sharing power (bagi-bagi kekuasaan) yang tidak sesuai. Keempat, faktor Patronase senior, yang menjadi kekuatan dominan, bagi keberlangsungan organisasi. Selain sudah menjadi cultur (kebiasaan), sudah menjadi rahasia umum bahwa, seorang kader HMI yang berhasil berkarir di Cabang, Badko sampai ketingkat Pengurus Besar, semuanya memiliki patron atau menjalankan cultur Patronase.

Secara umum, di HMI sendiri, selain Allah SWT yang dijadikan sebagai Patron hidup, juga ada senior atau abang. Kedudukan keduanya (Allah vs Abang) memang beda tipis, dan yang perlu dicatat bahwa, posisi abang/senior tidak setinggi posisi Allah sebagai maha pencipta. Dan Kelima, intervensi Alumni/KAHMI yang berkiprah di dalam pemerintahan, terlalu dominan dan terlalu masuk ke dalam. Sehingga, hal ini berdampak pada arah juang organisasi.

Sikap HMI yang seharusnya menjadi mitra kritis di dalam Pemerintahan serta menjadi Agent of Change ditengah masyarakat, justru berbalik arah, menjadi bagian atau di bawah kontrol pemerintahan. Sehingga tidak berlebihan, apabila saya menyebut, HMI ditingkatan Pengurus Besar saat ini, banyak tertinggal momentum dan absen dalam merespon persoalan umat bang bangsa di Indonesia.

Dampak Konflik


Apabila kita melihat fenomena dualisme Kepengurusan HMI ditingkat Pengurus Besar. Maka itu semua disebabkan karena ketidakcakapan Ketua Umum dalam mengambil dan menetapkan sebuah keputusan. Sehingga hal tersebut, berbuah 'Jalan Terjal' bagi keberlangsungan organisasi.

Fenomena konflik yang terjadi dalam internal HMI ditingkat Pengurus Besar, dalam pandangan penulis, merupakan pertarungan yang menghabiskan waktu dan tidak berdampak positif bagi organisasi.

Seperti diketahui bersama bahwa, dualisme kepengurusan HMI ditingkat Pengurus Besar (PB) saat ini, berada pada titik tumpu legalitimasi kepemimpinan.

Baik Respiratori Saddam Al Jihad yang merupakan Ketua Umum hasil mandataris Kongres Ke XXX di Ambon, maupun Arya Karisma Hadi yang awalnya juga merupakan Sekertaris Jenderal (Sekjen) dan saat ini menjelma menjadi Pjs Ketua Umum. Keduanya memiliki legitimasi yang kuat, dan sah secara konstitusional.

Sebab, diantara dua kader terbaik HMI yang saat ini sedang sibuk, menjalankan roda organisasi ditingkat Pengurus Besar ini. Secara legal formal telah menjalankan amanat konstitusi HMI.

Misalnya soal pengangkatan Arya Karisma dari Sekjen menjadi Pjs Ketua Umum, bertumpu pada sebuah keputusan, tertuang dalam surat nomor 08/KPTS/A/05/1440H yang ditandatangani 10 Anggota MPK. Dalam hal ini, Saddam dinilai telah melakukan perbuatan asusila, dengan di dasari pada bukti tersebarnya foto dan video panasnya (hot).

Begitu juga dengan posisi Respiratori Saddam Al Jihad, yang merasa tetap sebagai Ketua Umum hasil mandataris Kongres ke XXX di Ambon, juga memiliki legalitas, seperti tertuang berdasarkan Surat Keputusan (SK) terbaru yang ditanda tangani pada 14 Desember 2018 Nomor: ISTIMEWA/KPTS/A/K/04/1440 tentang reshuffle susunan PB HMI 2010-2018, dan yang bersangkutan atas nama inisial RK, AKH dan RS bukan lagi sebagai Ketua Bidang dan Sekjen di PB HMI.

Baik Saddam maupun Arya, keduanya memiliki legitimasi kepemimpinan yang kuat, untuk diakui oleh semua kader HMI. Apabila dualisme kepengurusan HMI ditingkat Pengurus Besar ini, terus dirawat dan dibiarkan dan tidak segera diselesaikan.

Maka hal ini tentu akan berimbas pada kerja-kerja organisasi, dan yang paling mungkin terjadi adalah, dualisme kepengurusan HMI bukan hanya terjadi ditingkat Pengurus Besar, akan tetapi juga terjadi ditingkat Cabang dan juga Badan Koordinasi (Badko) di Indonesia.

Begitu juga, apabila stakholder HMI ditingkat Cabang maupun Badko secara terang-terangan, memberikan legitimasi kepemimpinan pada salah satunya, yang saat ini menjalankan roda organisasi di Pengurus Besar, justru akan berdampak buruk bagi keberlangsungan roda organisasi, terutama pada persoalan nama baik HMI. Selain itu, hal ini juga akan berdampak sangat buruk, apabila Alumni HMI/Kahmi, secara terang-terangan memberikan dukungan atau legitimasi kepemimpinan pada salah satunya.

Justru hal tersebut, selain melibatkan nama baik, juga akan menampakan cara berpikir yang tidak bijak/goblok. Memberikan legitimasi kepemimpinan dalam situasi dan kondisi seperti ini, sama halnya dengan merusak marwah dan nama baik HMI sebagai organisasi perjuangan.

Dalam istilah orang Banten, maka hal tersebut, sama halnya seperti 'Neukteuk Curuk Dina Ping-Ping, Sapat Curukna, Darahan Oge Ping-Ping na'. Atau merusak nama baik himpunan. Ya sama halnya, menang jadi arang kalah jadi abu.

Resolusi Konflik


Dalam menyikapi adanya dualisme kepengurusan tersebut, semangat yang harus di bangun dan di kedepankan oleh semua kader HMI, terutama Ketua Umum maupun Pengurus HMI ditingkat Cabang maupun Badan Koordinasi (Badko), bukan pada persoalan siapa yang legitim (Sah secara konstitusional) dan layak memimpin HMI.

Melampaui hal tersebut, semangat ya g harus dikedepankan oleh semua kader HMI ditingkat Cabang dan Badan Koordinasi adalah semangat memperbaiki nama baik, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat ini dan nanti.

Idealnya, semua stakholder ditingkat Cabang maupun Badko seharusnya tidak memberikan legitimasi atau pemihakan kepada salah satu kepengurusan yang ada dalam tubuh HMI ditingkat Pengurus Besar, baik kepada Saddam sebagai Ketua Umum maupun kepada Arya sebagai Pjs Ketua Umum.

Sebab, dengan memberikan legitimasi dan pengakuan kepada salah satunya, maka secara langsung kita telah menelanjangi nama baik HMI menjadi buruk dihadapan publik.

Memberikan legitimasi kepada salah satunya (Saddam atau Arya) sama halnya kita bergerak atas dasar, kepentingan untuk menduduki HMI agar terus berkonflik dan berpolemik. Sebab, menjaga nama baik HMI, salah satunya adalah tidak bergerak atas dasar kepentingan untuk menduduki HMI, dengan cara memberikan legitimasi pada salah satunya, baik itu kepada Saddam maupun kepada Arya.

Maka, langkah ideal yang harus dilakukan oleh semua kader HMI ditingkat Cabang maupun Badko, adalah mendorong keduanya untuk Islah (Rekonsilisasi) dan mendorong agar Pengurus Besar versi Ketua Umum Saddam dan Pjs ketua Umum Arya, agar melakukan Kongres bersama.

Salah satu upaya untuk sampai pada Kongres Bersama antara keduanya, adalah dengan cara duduk bersama. Begitu juga dengan Alumni/Kahmi, harus sigap menjadi katalisator (penyambung) antara kedua belah pihak, yang saat ini sedang asyik berkonflik dan berpolemik, agar Islah (Rekonsiliasi).

Hal ini penting dilakukan agar, posisi HMI tidak dianggap sebelah mata. Selain itu, hal tersebut (Kongres Bersama) juga penting untuk dilakukan agar, HMI yang statusnya sebagai organisasi Perjuangan dan berperan sebagai organisasi Perkaderan, bisa kembali stabil.

Sebab, dirawatnya konflik ditubuh organisasi HMI, maka secara langsung, akan berdampak pada kemunduran HMI. Kita berharap, dengan digelarnya Pleno II HMI ditingkat Pengurus Besar, baik dari versi Saddam maupun Arya, bisa segera melebur dan Islah.

Rapat Pleno II yang dilakukan oleh versi Saddam maupun Arya, menurut pandangan penulis, masih belum menemukan titik terang, atas adanya rekonsiliasi antara kedua belah pihak.

Karena itu, dalam pelaksanaan rapat Pleno II yang akan dilangsungkan oleh PB HMI versi Arya ini, diharapkan dapat merumuskan formulasi baru, agar HMI bisa bersatu kembali dan keluar dari format perpecahan. [***]

Deni Iskandar

Ketua HMI Cabang Ciputat, Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah. Periode 2018-2019.

from RMOLBanten.com https://ift.tt/2MsbD3h
via gqrds

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Resolusi Konflik PB HMI, Perlukah?"

Posting Komentar