Buzzer Suara Bising AgitProp
BARU-baru ini masyarakat dikejutkan dengan beredarnya video interogasi salah satu pendukung Jokowi, Ninoy Karundeng.
Dalam video tersebut, aktivis media sosial pendukung Jokowi ini, menjawab beberapa pertanyaan dengan wajah lebam.
Ninoy Karundeng dianggap sebagai buzzer Jokowi yang memberikan informasi sesuai dengan sudut pandangnya sebagai pendukung fanatik Jokowi, hal ini membuat resah massa lawan politiknya.
Perkara Ninoy Karundeng adalah salah satu gambaran realitas kehidupan masyarakat yang terjadi saat ini. Perbedaan pilihan politik kini bisa berujung baku hantam.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko ikut berbicara soal fenomena tersebut, kegiatan buzzer dianggap sebagai penyebabnya, sebab itu dia meminta agar segala kegiatan buzzer ditinggalkan.
Sesungguhnya keberadaan buzzer bukanlah hal yang baru di dunia politik.
Sebab, buzzer merupakan agent dari tim agitasi dan propaganda (AgitProp) yang sengaja diciptakan untuk mendorong terbentuknya opini publik yang seragam, sekaligus mendorong publik untuk mendukung ide dan gagasan yang telah dibuat oleh sang agitator.
Agitasi sendiri memiliki pengertian membangkitkan perhatian publik atau khalayak untuk merespon informasi yang disajikan dengan sudut pandang tertentu, sehingga mendorong khalayak untuk mengambil tindakan keberpihakan kepada informasi yang disajikan.
Sementara Propaganda adalah sebuah gerakan sistematis yang berfungsi sebagai penyebarluasan sebuah keyakinan kepada khalayak dengan tujuan, agar khalayak meyakini informasi yang disajikan sehingga memunculkan paradigma baru.
Istilah buzzer dianggap menjadi sesuatu yang baru karena penyebaran informasinya melalui medium saluran komunikasi media sosial berbasis internet, seperti twitter, facebook, Instagram atau bahkan whatsapp.
Maka tidak heran apabila, sebagian besar dari akun buzzer merupakan influencer. Melalui influencer, kegiatan agitasi dan propaganda di media sosial akan mudah dijalankan.
Pasalnya, influencer memiliki banyak pengikut di akun media sosialnya, sehingga akun-akun pengikutnya akan membantu mendistribusikan informasi kepada khalayak umum secara masif melalui media sosial.
Didukung dengan bahasa yang lugas, mudah dipahami, video atau bahkan gambar yang ditayangkan secara realtime, penyebaran agitasi dan propaganda di media sosial sangatlah efektif dan efisien.
Indonesia sendiri menurut data yang dilansir oleh The Next Web pada 2018 lalu, disebutkan jika Indonesia merupakan pengguna Facebook terbesar ke-tiga dunia, dengan jumlah pengguna hingga 140juta.
Untuk Instagram, Indonesia menduduki urutan ke-empat di dunia dengan jumlah pengguna 56 juta.
Sementara untuk Twitter, berada diperingkat 12 di dunia dengan jumlah pengguna mencapai 6,6 juta.
Tentu dengan banyaknya pengguna aplikasi media sosial inilah, membuat kerja-kerja tim agitasi dan propaganda menjadi lebih mudah.
Benarkah Buzzer Berbahaya
Sejatinya agitasi dan propaganda ditujukan untuk pencapaian terjadinya perubahan sikap sosial sesuai dengan ideologi masing-masing kelompok organisasi politik.
Misalnya, menjelang Pilpres 2019 yang lalu, dunia media sosial diramaikan dengan tanda pagar (Tagar) #2019GantiPresiden,
Tagar #2019GantiPresiden yang dipupolerkan oleh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera ini secara tidak langsung ingin menyampaikan, jika PKS menginginkan kepemimpinan baru.
Agitasi dan propaganda yang dipopulerkan ini nyatanya mendapat respon positif dari berbagai kalangan, mulai dari politisi hingga sebagian rakyat Indonesia.
Bahkan tim koalisi Adil dan Makmur, terdiri dari PKS, Gerinda, Partai Demokrat dan PAN sepakat untuk menggunakan #2019GantiPresiden, tentu saja ini bagian dari kegiatan agitasi dan propaganda.
Sama halnya dengan tagar #2019DuaPeriode, tagar yang dipopulerkan oleh tim pendukung Jokowi ini sebagai tindakan agitasi dan propaganda dalam rangka memborbardir gerakan tagar #2019GantiPresiden.
Perang agitasi dan propaganda inilah yang membuat dunia sosial media ruih bergemuruh.
Masing-masing tim agitasi dan propaganda saling serang menyerang.
Sebenarnya tagar #2019GantiPresiden dan #2019DuaPeriode merupakan bagian dialektika berdemokrasi dan itu sah-sah saja.
Namun, menjadi kurang elok ketika para buzzer ini tidak lagi menjalankan kegiatan agitasi dan propaganda yang baik. Akibatnya, kegiatan agitasi dan propaganda menjadi tidak terkendali, sehingga menjadi liar.
Belakangan ini, Sering kali kita jumpai peperangan propaganda dan agitasi di media sosial, bahkan isinya tidak lagi soal gagasan dan ideologi, masing-masing pihak bahkan cenderung mengangkat isu yang menyerang secara pribadi, bahkan beberapa kali menyinggung soal perbedaan suku, agama dan budaya.
Tentu hal ini tidak baik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih jika kegiatan agitasi dan propaganda ini dilakukan di Indonesia.
Mengapa demikian? Sebab Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki beranekaragam suku, agama, dan budaya.
Dibawah ideologi PANCASILA dan semboyan Bhineka Tunggal Ika, para pendiri negeri ini bersumpah untuk bersatu padu menyatukan segala perbedaan untuk mencapai cita-cita luhur yakni, menciptakan kemerdekaan Republik Indonesia dari kegiatan penindasan dan penjajahan.
Ada satu visi dan misi yang sama bagi seluruh putra-putri Indonesia, yang kembali dipertegas dalam hasil keputusan Kongres Pemuda Kedua, pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta.
Kongres yang dihadiri oleh seluruh gerakan kepemudaan di Indonesia berkumpul bersumpah, bertumpah darah satu, tanah Indonesia.
Berbangsa satu, bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia. Sejarah gerakan pemuda yang dikenal sebagai gerakan Sumpah Pemuda ini dimaknai sebagai momentum bersatunya para pemuda, yang kemudian bergerak bersama dan berjuang menuju Indonesia merdeka.
Terciptanya semangat persatuan nasional membutuhkan perjalanan yang sangat panjang, bukan hanya tenaga dan pikiran yang dikorbankan oleh para pendiri negeri ini, bahkan darah dan nyawa pun mereka korbankan demi cita kemerdekaan Indonesia.
Sebab itu alangkah sayangnya jika persatuan rakyat nasional yang sudah dirajut dengan susah payah, harus terpecah kembali hanya demi pertarungan politik untuk mencapai kekuasaan.
Pertarungan Ide dan Gagasan
Idealnya kegiatan agitasi dan propaganda merupakan sebuah ladang pertarungan ide dan gagasan.
Ruang di mana ide, gagasan serta argumen yang disampaikan saling beradu dan dikritisi.
Sebab itu, penting bagi tokoh politik maupun politisi untuk memiliki kemampuan yang piawai dalam membaca gejala politik, ekonomi dan sosial.
Ide dan gagasan memiliki andil yang besar dalam melontarkan agitasi dan propaganda di ruang publik.
Sehingga amunisi berupa ide dan gagasan yang akan disampaikan, dapat ditembakkan kepada target sasaran dengan tepat.
Namun, jika agitasi dan propaganda hanya sebagai alat untuk merebutkan kekuasaan atau hanya untuk melanggengkan kekuasaan semata, tanpa memperhatikan kualitas konten dari ide dan gagasan yang akan disampaikan atau bahkan ditawarkan kepada publik, maka dapat dipastikan kualitas agitasi dan propaganda yang disebarkan para buzzer, hanya akan memperuncing perpecahan persatuan dan kesatuan bangsa. [***]
Subkhan AS
Sekum, Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) Kota Tangerang Selatan
from RMOLBanten.com https://ift.tt/2IyBGlU
via gqrds
Dalam video tersebut, aktivis media sosial pendukung Jokowi ini, menjawab beberapa pertanyaan dengan wajah lebam.
Ninoy Karundeng dianggap sebagai buzzer Jokowi yang memberikan informasi sesuai dengan sudut pandangnya sebagai pendukung fanatik Jokowi, hal ini membuat resah massa lawan politiknya.
Perkara Ninoy Karundeng adalah salah satu gambaran realitas kehidupan masyarakat yang terjadi saat ini. Perbedaan pilihan politik kini bisa berujung baku hantam.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko ikut berbicara soal fenomena tersebut, kegiatan buzzer dianggap sebagai penyebabnya, sebab itu dia meminta agar segala kegiatan buzzer ditinggalkan.
Sesungguhnya keberadaan buzzer bukanlah hal yang baru di dunia politik.
Sebab, buzzer merupakan agent dari tim agitasi dan propaganda (AgitProp) yang sengaja diciptakan untuk mendorong terbentuknya opini publik yang seragam, sekaligus mendorong publik untuk mendukung ide dan gagasan yang telah dibuat oleh sang agitator.
Agitasi sendiri memiliki pengertian membangkitkan perhatian publik atau khalayak untuk merespon informasi yang disajikan dengan sudut pandang tertentu, sehingga mendorong khalayak untuk mengambil tindakan keberpihakan kepada informasi yang disajikan.
Sementara Propaganda adalah sebuah gerakan sistematis yang berfungsi sebagai penyebarluasan sebuah keyakinan kepada khalayak dengan tujuan, agar khalayak meyakini informasi yang disajikan sehingga memunculkan paradigma baru.
Istilah buzzer dianggap menjadi sesuatu yang baru karena penyebaran informasinya melalui medium saluran komunikasi media sosial berbasis internet, seperti twitter, facebook, Instagram atau bahkan whatsapp.
Maka tidak heran apabila, sebagian besar dari akun buzzer merupakan influencer. Melalui influencer, kegiatan agitasi dan propaganda di media sosial akan mudah dijalankan.
Pasalnya, influencer memiliki banyak pengikut di akun media sosialnya, sehingga akun-akun pengikutnya akan membantu mendistribusikan informasi kepada khalayak umum secara masif melalui media sosial.
Didukung dengan bahasa yang lugas, mudah dipahami, video atau bahkan gambar yang ditayangkan secara realtime, penyebaran agitasi dan propaganda di media sosial sangatlah efektif dan efisien.
Indonesia sendiri menurut data yang dilansir oleh The Next Web pada 2018 lalu, disebutkan jika Indonesia merupakan pengguna Facebook terbesar ke-tiga dunia, dengan jumlah pengguna hingga 140juta.
Untuk Instagram, Indonesia menduduki urutan ke-empat di dunia dengan jumlah pengguna 56 juta.
Sementara untuk Twitter, berada diperingkat 12 di dunia dengan jumlah pengguna mencapai 6,6 juta.
Tentu dengan banyaknya pengguna aplikasi media sosial inilah, membuat kerja-kerja tim agitasi dan propaganda menjadi lebih mudah.
Benarkah Buzzer Berbahaya
Sejatinya agitasi dan propaganda ditujukan untuk pencapaian terjadinya perubahan sikap sosial sesuai dengan ideologi masing-masing kelompok organisasi politik.
Misalnya, menjelang Pilpres 2019 yang lalu, dunia media sosial diramaikan dengan tanda pagar (Tagar) #2019GantiPresiden,
Tagar #2019GantiPresiden yang dipupolerkan oleh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera ini secara tidak langsung ingin menyampaikan, jika PKS menginginkan kepemimpinan baru.
Agitasi dan propaganda yang dipopulerkan ini nyatanya mendapat respon positif dari berbagai kalangan, mulai dari politisi hingga sebagian rakyat Indonesia.
Bahkan tim koalisi Adil dan Makmur, terdiri dari PKS, Gerinda, Partai Demokrat dan PAN sepakat untuk menggunakan #2019GantiPresiden, tentu saja ini bagian dari kegiatan agitasi dan propaganda.
Sama halnya dengan tagar #2019DuaPeriode, tagar yang dipopulerkan oleh tim pendukung Jokowi ini sebagai tindakan agitasi dan propaganda dalam rangka memborbardir gerakan tagar #2019GantiPresiden.
Perang agitasi dan propaganda inilah yang membuat dunia sosial media ruih bergemuruh.
Masing-masing tim agitasi dan propaganda saling serang menyerang.
Sebenarnya tagar #2019GantiPresiden dan #2019DuaPeriode merupakan bagian dialektika berdemokrasi dan itu sah-sah saja.
Namun, menjadi kurang elok ketika para buzzer ini tidak lagi menjalankan kegiatan agitasi dan propaganda yang baik. Akibatnya, kegiatan agitasi dan propaganda menjadi tidak terkendali, sehingga menjadi liar.
Belakangan ini, Sering kali kita jumpai peperangan propaganda dan agitasi di media sosial, bahkan isinya tidak lagi soal gagasan dan ideologi, masing-masing pihak bahkan cenderung mengangkat isu yang menyerang secara pribadi, bahkan beberapa kali menyinggung soal perbedaan suku, agama dan budaya.
Tentu hal ini tidak baik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih jika kegiatan agitasi dan propaganda ini dilakukan di Indonesia.
Mengapa demikian? Sebab Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki beranekaragam suku, agama, dan budaya.
Dibawah ideologi PANCASILA dan semboyan Bhineka Tunggal Ika, para pendiri negeri ini bersumpah untuk bersatu padu menyatukan segala perbedaan untuk mencapai cita-cita luhur yakni, menciptakan kemerdekaan Republik Indonesia dari kegiatan penindasan dan penjajahan.
Ada satu visi dan misi yang sama bagi seluruh putra-putri Indonesia, yang kembali dipertegas dalam hasil keputusan Kongres Pemuda Kedua, pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta.
Kongres yang dihadiri oleh seluruh gerakan kepemudaan di Indonesia berkumpul bersumpah, bertumpah darah satu, tanah Indonesia.
Berbangsa satu, bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia. Sejarah gerakan pemuda yang dikenal sebagai gerakan Sumpah Pemuda ini dimaknai sebagai momentum bersatunya para pemuda, yang kemudian bergerak bersama dan berjuang menuju Indonesia merdeka.
Terciptanya semangat persatuan nasional membutuhkan perjalanan yang sangat panjang, bukan hanya tenaga dan pikiran yang dikorbankan oleh para pendiri negeri ini, bahkan darah dan nyawa pun mereka korbankan demi cita kemerdekaan Indonesia.
Sebab itu alangkah sayangnya jika persatuan rakyat nasional yang sudah dirajut dengan susah payah, harus terpecah kembali hanya demi pertarungan politik untuk mencapai kekuasaan.
Pertarungan Ide dan Gagasan
Idealnya kegiatan agitasi dan propaganda merupakan sebuah ladang pertarungan ide dan gagasan.
Ruang di mana ide, gagasan serta argumen yang disampaikan saling beradu dan dikritisi.
Sebab itu, penting bagi tokoh politik maupun politisi untuk memiliki kemampuan yang piawai dalam membaca gejala politik, ekonomi dan sosial.
Ide dan gagasan memiliki andil yang besar dalam melontarkan agitasi dan propaganda di ruang publik.
Sehingga amunisi berupa ide dan gagasan yang akan disampaikan, dapat ditembakkan kepada target sasaran dengan tepat.
Namun, jika agitasi dan propaganda hanya sebagai alat untuk merebutkan kekuasaan atau hanya untuk melanggengkan kekuasaan semata, tanpa memperhatikan kualitas konten dari ide dan gagasan yang akan disampaikan atau bahkan ditawarkan kepada publik, maka dapat dipastikan kualitas agitasi dan propaganda yang disebarkan para buzzer, hanya akan memperuncing perpecahan persatuan dan kesatuan bangsa. [***]
Subkhan AS
Sekum, Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) Kota Tangerang Selatan
from RMOLBanten.com https://ift.tt/2IyBGlU
via gqrds
0 Response to "Buzzer Suara Bising AgitProp"
Posting Komentar