Hikayat Pembedah Mayat
//Cerita Seorang Dokter Forensik
Laporan: Wahyu Arya
Mayat-mayat berdatangan setelah dipindahkan dari mobil ke kamar mayat. Banyak diantaranya tidak lagi dikenali karena sudah rusak, membusuk, tak utuh. Ada yang meninggal wajar dan tak sedikit merupakan korban pembunuhan.
Di tengah suasana yang meneror mata awam itu, dr. Budi Suhendar, SpF, DFM biasanya bersiap untuk menjalankan tugas nya. Tugas seorang dokter forensik dan medikolegal di Rumah Sakit Umum dr. Dradjat Prawiranegara, Serang.
Pria kelahiran Bandung, 17 Desember 1966 itu memang bukan super hero dalam kisah-kisah fiksi. Ia hanya pria biasa yang juga mengaku pernah pingsan melihat darah dan menghadapi mayat. Cerita itu terjadi ketika ia pertama kali menempuh studi di Fakultas Kedokteran Umum, Universitas Trisakti (1986-1998).
Ia hanya tersenyum mengingat kejadian tersebut. Budi menyebutkan, rasa takut dan situasi yang tidak menyenangkan menekan pikiran, akhirnya membuatnya tumbang.
“Belum terbiasa melihat darah, membedah mayat. Baru masuk kedokteran lihat jenazah, lihat darah saya pingsan. Dulu diketawain,” kenang pria yang semula bercita-cita sebagai penerbang pesawat tempur itu kepada BantenNews.co.id di Kota Serang, Banten.
Seiring berjalan waktu, rasa takut mampu ia tundukan perlahan-lahan. Kini, bukan saja melihat darah, jenazah rusak dan tak utuh menjadi pemandangan yang biasa ia hadapi.
”Perlu latihan. Rasa takut yang harus ditundukan menghadapi objek [mayat] yang kita periksa. Datangnya takut itu karena tidak biasa menghadapi bentuk, bau, dan kasat mata tidak menyenangkan dipandang. Rasa takut itu kaitannya dengan pikiran dan hati. Kalau tidak bisa dikendalikan akan jadi penghambat dalam proses pemeriksaan [autopsi],” tutur pria yang juga gandrung bacaan sejarah tersebut.
Memecah Misteri Kematian
Budi mengakui, minat terhadap bidang forensik sudah ada ketika menempuh studi di Fakultas Kedokteran Trisakti. Minat tersebut semakin besar ketika ia bertugas di Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit yang sama.
“Banyak kasus kekerasan baik [korban] hidup atau [korban] mati. Sehingga saya merasakan kebutuhan ahli forensik itu penting.”
Para korban kekerasan tersebut, menurut Budi, penting untuk memperoleh bukti mengenai apa yang menimpa mereka. Tujuan akhirnya, para korban mendapatkan keadilan dan para pelaku menerima hukum sesuai dengan perbuatannya.
“Pilihan saya dua yakni Kegawatdaruratan dan Forensik, tapi perjalannanya cenderung ke forensik karena pertama kasus kekerasan membutuhkan pengembangan dan kedua di Indonesia SDM-nya masih sangat jarang. Selain itu pentingnya pembuktian pada tubuh korban,” ujarnya.
Dari sanalah kemudian Budi memutuskan untuk menempuh pendidikan post-graduate di Universitas Groningen, Belanda pada 2003. Di sana, ia secara khusus belajar menganalisis untuk menentukan secara baik apakah kematian itu termasuk kematian wajar atau tidak wajar melalui autopsi. Satu tahun ia menempuh studi dan memperoleh gelar Diploma in Forensic Medicine (DFM).
Modal pengetahuan tersebut semakin menarik minat Budi untuk bertungkus lumus dengan hal-ihwal korban kejahatan baik yang hidup maupun yang meninggal. Kian sadis perlakuan pelaku terhadap korban, semakin menggetarkan perasaan kemanusian dan menantang untuk mendapat pembuktian.
Di tahun 2002 akhirnya Budi memutuskan untuk mempertajam pengetahuannya sebagai ahli di bidang forensik dengan kembali menempuh studi di Universitas Indonesia di Fakultas Kedokteran Jalur Spesialisasi Forensik dan Mediko-Legal.
Pengalaman studi di UI mempertemukannya dengan seorang pakar foreksi dr. Mun’im Idris. Saat itu dr. Mun’im Idris sudah terkenal dengan keberanian pendapat dan ketajaman analisisnya mengenai kasus-kasus kriminal besar yang sulit terungkap di tanah air.
“Beliau idola saya. Saya berkesempatan dimentori beliau. Banyak saya baca di media massa nama beliau sudah sangat popular mengungkap korban kejahatan baik yang meninggal maupun yang hidup,” kata Budi.
Pengetahuan itu ia gunakan untuk memecah misteri kematian baik korban anonim maupun yang teridentifikasi. Di hadapan mayat-mayat tersebut, Budi mengaku harus jeli melihat jejak apapun pada tubuh yang sudah tak bernyawa tersebut. Baik luka maupun tanda lainnya. Dari ketelitian tersebut ia mengaku terbantu untuk menyimpulkan sebab kematian korban.
Luka akibat penganiayaan sebelum meninggal, atau luka setelah korban meninggal dapat dibedakan. Begitu juga pada mayat yang ditemukan di air. Proses ilmiah bisa menemukan jawaban bahwa korban meninggal sebelum atau sesudah masuk ke dalam air.
Dari sekian panajang perjalanan analisis tersebut Budi dapat menyimpulkan bahwa: Orang yang mencelakakan orang lain biasanya tidak ingin ketahuan, [korban] “dibungkus” [seolah] sakit, kecelakaan dll. Dan kalau bicara pelaku pada umumnya orang terdekat, bahkan sangat dekat.
Untuk itu, Budi menyebutkan tren kualitas kejahatan kian berkembang dan menuntut perkembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi Kedokteran (IPTEKDOK). Kualitas kejahatan tersebut, menurut Budi, terkait dengan upaya yang semakin canggih yang dilakukan pelaku untuk menghapus jejak kejahatannya.
Sulitnya Mengungkap Pembunuhan
Dari kerja ilmiah tersebut, ada beberapa kasus pembunuhan yang sulit diungkap. Salah satu kasus tersebut menurut Budi, perempuan korban mutilasi. Korban ditemukan dalam kondisi terpotong-potong namun ada bagian tubuh yang hilang, yaitu: kepala!
Tingkat kesulitan lain menurut Budi bila mayat korban kekerasan tertunda untuk dapat diautopsi, karena tubuh mayat akan mengalami perubahan dengan bertambahnya waktu. Hal itu menambah tingkat kesulitan. Meski sulit, menurut Budi, hal itu bisa diungkap.
Kesulitan lain dalam mengungkap penyebab kematian ketika jenazah sudah terlalu lama dikubur. Proses ekshumasi atau penggalian kubur mengeluarkan kembali jenazah menjadi salah satu cara yang ia lakukan untuk mengungkap kapan dan apa penyebab kematian. “Semakin lama dikubur, semakin sulit,” tuturnya.
Selain terlalu lama jenazah meninggal, kualitas kejahatan menurut Budi juga mempengaruhi tingkat kesulitan mengungkap kasus pembunuhan. Tren meningkatnya kualitas kejahatan tersebut menuntut ketelitian dan ketajaman analisis yang lebih.
Pada umumnya, peningkatan kualitas kejahatan itu menurut Budi adalah upaya menghapus jejak kejahatan oleh pelakunya. “Peningkatan kualitas [kejahatan] itu upaya siasat bahwa kasus itu [seolah] bukan kasus kriminal, menghindar dari pengungkapan [kasus] pembunuhan.”
Cerita Horor
Bersentuhan dengan jenazah tidak lantas membuat Budi mudah percaya pada klenik. Pengalaman masa kecil di Jerman karena ikut sang ayah yang bekerja di atase pada Departemen Keuangan (Dirjen Pengawasan Keuangan Negara yang kini menjadi BPKP) membuat Budi tergolong rasoinalis. Namun suatu hari pengalaman ganjil justru dialami orang yang berkerja di sekitarnya.
Pernah suatu hari petugas forensik mengevakuasi mayat perempuan dari pinggir jalan. Setelah selesai prosesi pada mayat umumnya pera petugas keluar ruangan jenazah menuju mobil jenazah. Di samping mobil sudah berdiri seorang perempuan meminta bantuan kepada staf rumah sakit.
“Perempuan itu bilang minta bantuan karena tidak makan tiga hari. Akhirnya staf saya kasih uang untuk beli makan. Sudah itu si perempuan itu pergi,” kata Budi.
Keesokan harinya, datang pasangan suami sitri ke Ruang Jenazah mencari anaknya yang hilang. Di sana, pasangan itu menanyakan penemuan mayat perempuan tersebut. Pihak Kedokteran Forensik dan Medikolegal (IKFM) dr. Dradjat Prawiranegara, Serang akhirnya meminta melengkapi dokumen anggota keluarga yang hilang dan meminta melampirkan foto korban.
“Kami minta sidik jari dan ciri-ciri korban untuk menyesuaikan dengan data post-mortem, bila perlu kami lakukan tes DNA,” ujar Budi.
Berkas yang dimintapun diterima oleh pihak rumah sakit. Saat itu berkas tersebut sudah siap di meja Budi. Begitu berkas tersebut dibuka, salah satu staf kaget dan beristigfar begitu melihat foto di dalam map yang disodorkan keluarga korban.
“Perempuan yang di foto itu, sama dengan perempuan yang diberi uang oleh staf saya. Staf saya yang mengalami peristiwa semacam itu,” katanya sambil tersenyum antara percaya dan tidak.
Memeriksa yang Mati Menyadari Arti Hidup
Dari belasan tahun memeriksa korban kekerasan, berhadapan dengan jenazah memberikan kesadaran bagi Budi. Satu hal yang tak bisa ia bantah bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti.
“Bahwa hidup ini berharga karena pada suatu peristiwa hidup ini bisa berakhir. Peristiwanya bisa macam-macam, kebetulan yang saya tangani pembunuhan. Sehingga mendorong saya lebih memahami lagi apa itu hidup. Dan bagaimana kita menghadapi kematian,” kaat Budi.
Kesadaran tersebut kemudian membuatnya berupaya bermanfaat untuk kehidupan manusia, maupun lingkungan.
Kepada mayat-mayat korban pembunuhan itu, Budi selalu merasa iba. Kesadaran itu yang kemudian menggeser rasa takut dan hal-hal yang mengganggu tugasnya.
“Korban mati, apalagi tidak dikenal, yang saya rasakan ini adalah sesosok manusia yang pada hidupnya pasti punya rasa. Kalau [ia masih] hidup bisa menceritakan apa yang dialaminya. Tapi karena [sudah] meninggal kita yang bertanggung jawab untuk menterjemahkan apa yang dialaminya,” ujar Budi.
Terutama, kata dia, mengungkap siapa sebenarnya identitas korban. “Jika dia anak, pasti idia punya orangtua yang mengkin menunggu dia pulang. Begitu juga jika korban dewasa, suami atau istrinya, juga menunggu di rumah. Di sana rasa kemanusiaan saya tergerak.”
Regenerasi Dokter Foreksik
Bicara mengenai regenerasi profesi dokter forensic, Budi mengaku agak gembira karena mulai banyak yang berminat dan melamar setiap tahunnya. Maklum, di Indonesia secara umum, mengurusi mayat bukan profesi yang banyak diminati.
“Kalau dilihat dari kuantitas yang melamar forensik meningkat dibanding dulu waktu saya. Kalau dulu belum tentu tiap tahun ada yang mau melamar. Dan dari sisi dukungan Pemda maupun Pemerintah Pusat sudah meningkat karena memang keberadaan dokter forensik sudah dirasakan menfaatnya, khususnya untuk memberikan keadilan. Ini cukup menggembirakan bagi saya,” jelas Budi.
Mengenai rasio idel profesi ini, Budi menyebutkan, satu orang di tiap kabupaten/kota. Di Banten sendiri belum memenuhi rasio idel. Kendati demikian, Budi yakin dengan penambahan dokter forensik, khususnya di wilayah selatan seperti Rumah Sakit Malingping dan RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung akan sangat membantu.
“Di Banten nanti akan ada 8 orang. Penempatan tugas di beberapa rumah sakit untuk mendekatkan akses masyarakat yang menjadi korban kekerasan dan mudahkan penyidik, dan penyebaran aspek edukasi. Bahwa forensik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan kedokteran dan kesehatan,” jelasnya.
Ia berharap Pemerintah Daerah di kabupaten/kota dapat memiliki perhatian yang kuat untuk membangun bidang forensik pada rumah sakit-rumah sakit di Banten. Sebab, Kedokteran Forensik dan Mediko-Legal merupakan bagian integral dalam pelayanan kesehatan. (*)
0 Response to "Hikayat Pembedah Mayat"
Posting Komentar