Film Urang Kanekes: Potret Baduy Terancam Kehilangan Satu Generasi
RMOLBANTEN. Indigenous Organic merilis film dokumenter berjudul Urang Kanekes Satu Generasi Yang Hilang di Cafe Kopi Men Bar, Tangsel, Jumat (16/10) malam.
Film berdurasi 39 menit ini, menceritakan kekhawatiran kasepuhan masyarakat adat Kanekes atau terkenal dengan nama Baduy, yang gelisah melihat kondisi generasi muda yang sudah terkontaminasi modernisasi.
Fasya Candrika sang produser film mengambil potret tentang kekhawatiran akan generasi muda Baduy yang mulai terkontaminasi dan meninggalkan adat istiadat mereka.
"Sebagai salah satu contoh terjadi sekarang, muncul generasi muda Urang Kanekes yang bisa dibilang kosmopolitan, karena arus wisatawan yang tidak bisa dibendung dan kurang pahamnya para pengunjung mengenai hukum adat yang berlaku," katanya.
Digambarkan dalam film ini, aturan dalam suku Baduy itu menanam padi dengan berbagai ritual upacaranya hingga hasil panen tiba.
Namun sekarang para pemuda lebih memilih mengejar modernisasi seperti memiliki motor, memiliki Handphone daripada menerapkan budaya Baduy itu sendiri.
Menurut sang produser, film ini sendiri terinspirasi oleh leluhurnya yakni Pangeran Astapati Wirasuta dan kakek buyutnya Ahmad Djajadiningrat. Diketahui, Fasya merupakan keturunan ke 9 Wirasuta (Pangeran Astapati, panglima perang Sultan Ageng Tirtayasa yang berasal dari Baduy Dalam).
Sesungguhnya, kata Fasya orang kanekes bebas diberikan dan bebas memilih untuk mengasingkan diri atau tidak tapi yang terpenting adalah bagaimana untuk tetap berkomitmen dan konsisten menjaga adat.
"Seperti kisah pangeran astapati sendiri tujuh turunan tidak boleh bulak-balik (Kanekes) karena untuk menghindari terkikisnya tatanan adat," ujarnya.
Sementara itu sambung Fasya, Ahmad Djajadiningrat tetap menjaga dan melestarikan pikukuh Urang Kanekes walau harus dilakukan dari luar tanah Ulayat Kanekes. Disertai juga dengan kepedulian untuk seni budaya, pertanian dan ketahanan pangan.
"Begitu juga dengan kakek buyut Hilman Djajadiningrat, mengenai akan sulitnya menjaga konsistensi perjuangan leluhur dan meneruskan kakaknya dimasa peralihan kemerdekaan," jelasnya.
Film ini juga, masih kata dia, terinspirasi berdasarkan perjalanan hidup sebagai anak perempuan yang mendapat tuturan lisan yang secara turun menurun.
"Film ini, dipersembahkan oleh generasi muda untuk generasi muda penerus bangsa sebagai bingkisan untuk saling mengingatkan, menjaga, menghormati, menguatkan dan melestarikan dari budaya yang mengalir dari darah menuju abunya alam semesta," ujarnya.
Sesungguhnya semua yang diberikan amanah dititipkan harapan dan kepercayaan untuk melanjutkan. Agar kelak pikukuh yang dibalut doa, tekat, perjuangan tak hilang melebur terlupakan dan terabaikan sia-sia.
"Saya berharap film ini tidak menjadi retorika melainkan dapat menjadi aksi nyata kita semua. Karena film ini bukan hanya tentang siapa atau oleh siapa. Tapi tentang apa dan bagaimana selanjutnya," tutup Fasya. [ars]
from RMOLBanten.com https://ift.tt/2Iw9AdQ
via gqrds
Film berdurasi 39 menit ini, menceritakan kekhawatiran kasepuhan masyarakat adat Kanekes atau terkenal dengan nama Baduy, yang gelisah melihat kondisi generasi muda yang sudah terkontaminasi modernisasi.
Fasya Candrika sang produser film mengambil potret tentang kekhawatiran akan generasi muda Baduy yang mulai terkontaminasi dan meninggalkan adat istiadat mereka.
"Sebagai salah satu contoh terjadi sekarang, muncul generasi muda Urang Kanekes yang bisa dibilang kosmopolitan, karena arus wisatawan yang tidak bisa dibendung dan kurang pahamnya para pengunjung mengenai hukum adat yang berlaku," katanya.
Digambarkan dalam film ini, aturan dalam suku Baduy itu menanam padi dengan berbagai ritual upacaranya hingga hasil panen tiba.
Namun sekarang para pemuda lebih memilih mengejar modernisasi seperti memiliki motor, memiliki Handphone daripada menerapkan budaya Baduy itu sendiri.
Menurut sang produser, film ini sendiri terinspirasi oleh leluhurnya yakni Pangeran Astapati Wirasuta dan kakek buyutnya Ahmad Djajadiningrat. Diketahui, Fasya merupakan keturunan ke 9 Wirasuta (Pangeran Astapati, panglima perang Sultan Ageng Tirtayasa yang berasal dari Baduy Dalam).
Sesungguhnya, kata Fasya orang kanekes bebas diberikan dan bebas memilih untuk mengasingkan diri atau tidak tapi yang terpenting adalah bagaimana untuk tetap berkomitmen dan konsisten menjaga adat.
"Seperti kisah pangeran astapati sendiri tujuh turunan tidak boleh bulak-balik (Kanekes) karena untuk menghindari terkikisnya tatanan adat," ujarnya.
Sementara itu sambung Fasya, Ahmad Djajadiningrat tetap menjaga dan melestarikan pikukuh Urang Kanekes walau harus dilakukan dari luar tanah Ulayat Kanekes. Disertai juga dengan kepedulian untuk seni budaya, pertanian dan ketahanan pangan.
"Begitu juga dengan kakek buyut Hilman Djajadiningrat, mengenai akan sulitnya menjaga konsistensi perjuangan leluhur dan meneruskan kakaknya dimasa peralihan kemerdekaan," jelasnya.
Film ini juga, masih kata dia, terinspirasi berdasarkan perjalanan hidup sebagai anak perempuan yang mendapat tuturan lisan yang secara turun menurun.
"Film ini, dipersembahkan oleh generasi muda untuk generasi muda penerus bangsa sebagai bingkisan untuk saling mengingatkan, menjaga, menghormati, menguatkan dan melestarikan dari budaya yang mengalir dari darah menuju abunya alam semesta," ujarnya.
Sesungguhnya semua yang diberikan amanah dititipkan harapan dan kepercayaan untuk melanjutkan. Agar kelak pikukuh yang dibalut doa, tekat, perjuangan tak hilang melebur terlupakan dan terabaikan sia-sia.
"Saya berharap film ini tidak menjadi retorika melainkan dapat menjadi aksi nyata kita semua. Karena film ini bukan hanya tentang siapa atau oleh siapa. Tapi tentang apa dan bagaimana selanjutnya," tutup Fasya. [ars]
from RMOLBanten.com https://ift.tt/2Iw9AdQ
via gqrds
0 Response to "Film Urang Kanekes: Potret Baduy Terancam Kehilangan Satu Generasi"
Posting Komentar