Pasca Omnibuslaw: Nelayan Kecil “Kail dan Jala Tidak Cukup untuk Menghidupimu”

Oleh: Tb. MA. RAHMATULLAH, S.H. (Ketua LBH –Kesultanan Banten Indonesia).

Pada saat masa pendemi covid -19 melanda Dunia, terutama negeri ini. Masyarakat diminta melakukan pembatasan aktivitas, kita sibuk dalam pencegahan Covid-19, namun sebaliknya para pemangku kebijakan publik diatas sana, membuat gejolak ditengah masyarakat dengan menerbitkan undang – undang yang penuh kontroversi ini, disemua lini kehidupan, dan bahkan pengesahannya telah memancing masyarakat untuk melakukan demonstrasi terbuka, yang membuat resiko penyebaran covid-19 semakin membesar.

Diumumkannya dan disahkannya undang- undang omnibuslaw tidak hanya memilki dampak bagi pekerja, namun juga nelayan kecil di sepanjang garis pesisir pantai. Pasal 19 Undang – undang omnibuslaw memiliki keterkaitan langsung dan akan berdampak dalam kehidupan masyarakat nelayan, perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh KKP (Kementrian Kelautan Perikanan) Jumlah nelayan Indonesia pada Tahun 2017 berjumlah 2,7 Jt Nelayan dengan jumlah hampir 3 juta ini mayoritas berada dalam ambang batas garis kemiskinan dan menyumbang 25 persen angka kemiskinan nasional. Dan pada tahun 2019 jumlah nelayan menurun diangka 2,2 juta, Jumlah nelayan yang terdata pada Satu Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) per 23 Maret 2020 berjumlah 1.459.874 orang.

Undang – undang omnibuslaw merubah ketentuan pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perubahan ini tentunya akan memiliki dampak luas bagi nelayan kecil sepanjang garis pantai di Indonesia, yaitu bentuk perubahan yang dilakukan adalah yang sebelumnya izin lokasi menjadi izin Berusaha sebagaimana terdapat dalam pasal 16 UU No 1 TAhun 2014 Pasal 16 ayat (1) “Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi”. Yang mana pada bagian selanjutnya kemudian dijelaskan Izin Lokasi tersebut menjadi dasar pemberian Izin Pengelolaan. Pasal 16 tersebut kemudian dilakukan perubahan sebagai berikut yaitu Pasal 16 ayat (1) Pemanfaatan ruang dari Perairan Pesisir wajib sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi dan Pasal 16 Ayat (2) Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut dari Pemerintah Pusat.

Perubahan bentuk perizinan tersebut yang semula izin lokasi dan izin pengelolaan menjadi izin berusaha akan dapat menimbulkan multitafsir dan kekeliruan penafsiran Undang – undang dikemudian hari karena mengingat pada undang – undang yang lampau izin lokasi ditunjukan untuk pengelolaan suatu wilayah dengan luas dan batas yang ditentukan untuk dikelola oleh setiap orang yang memegang izin lokasi, atau dengan kata lain hal ini serupa dengan Hak Guna Usaha dalam pengelolaan lahan darat, hal tersebut juga telah dijelaskan dalam Pasal 19 UU Nomor 1 Tahun 2014 dijelaskan secara rinci mengenai penerapan untuk izin lokasi yaitu “Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulaupulau kecil untuk kegiatan: produksi garam, biofarmakologi laut; bioteknologi laut; pemanfaatan air laut selain energi; wisata bahari; pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, wajib memiliki Izin Pengelolaan”.

Sangat disayangkan perubahan sekarang ini dalam Undang – undang Omnibuslaw Cipta Kerja, ketentuan pasal 19 dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 yang justru sebagai penjelas untuk sektor mana saja yang perlu usaha perizinan dihapus, sehingga tafsir kata dari izin berusaha pada pasal 16 menjadi luas, bukan hanya terkait pengelolaan suatu wilayah dilaut atau pesisir pantai tetapi juga bagi nelayan kecil yang memanfaatkan laut untuk penghidupan sehari – hari, yang mencari ikan hari ini untuk keluarga kecilnya besok. Jika izin berusaha ini tetap diterapkan tanpa adanya penjelasan khusus yang membedakan antara nelayan penangkap ikan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut, maka dampak serius dikhawatirkan akan ada sanksi pidana yang menimpa nelayan tangkap yang tidak memiliki izin berusaha sebagaimana pasal Pasal 75 “Setiap Orang yang memanfaatkan ruang perairan dan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta bendaatau kerusakan barang. Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Tentunya dengan adanya sanksi adminsitratif dan pidana tersebut, kini nelayan kecil harus ikut pula mempersiapkan izin berusaha tersebut, izin berusaha walau sekedar mencari ikan di hari ini untuk kebutuhan hidup keluarganya esok, maka jika memang Undang – undang omnibuslaw itu terapkan dinegeri ini, kepada para nelayan kecil di sepanjang garis pantai Indonesia, “Kail dan jala tidak cukup menghidupimu”. (*)



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pasca Omnibuslaw: Nelayan Kecil “Kail dan Jala Tidak Cukup untuk Menghidupimu”"

Posting Komentar