Kembali ke Esensi Pendidikan Dalam Islam di Masa Pandemi

Oleh : Rachmatullah Rusli S.ag,M.Pd.I,      Dosen PAI UNPAM

Pembelajaran sekolah di masa pandemi menyisakan ragam permasalahan hingga kini. Banyaknya orang tua yang terbebani karena harus terlibat aktif dalam melaksanakan pembelajaran di rumah, adanya kasus bunuh diri pada anak akibat beban tugas sekolah, kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain, menambah daftar masalah yang timbul efek buruk dari pembelajaran jarak jauh yang diterapkan saat ini. Sementara belum adanya kejelasan kapan berakhirnya keadaan global akibat ancaman virus Corona (Covid-19).

Belum lagi masalah-masalah teknis lainnya seperti jaringan internet bagi yang tinggal di daerah pelosok kuota bagi anak yang tidak mampu dan lain-lain. Hal ini menuntut adanya solusi efektif dalam pendidikan agar proses pendidikan tetap berjalan sementara perkembangan fisiologis anak tetap tumbuh dan berkembang. Beberapa wacana usulan pernah bermunculan seperti pembelajaran via televisi sampai wacana perubahan kurikulum khusus di masa pandemi pernah diungkapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional. Tapi apakah betul itu dapat menjadi sebuah solusi efektif yang diharapkan bersama.

Sebagai seorang praktisi pendidikan, saya memiliki sudut pandang yang berbeda, dalam hal keadaan yang khusus ini. Yaitu memandang Pendidikan Islam dalam perspektif sejarah pendidikan dalam Islam. Kita tidak bisa menilai pendidikan saat itu sebagai sebuah pendidikan berdiri sendiri alias sudah terbentuk seperti ini dan mutlak tidak dapat diubah. Sehingga kita harus melihat dari sisi sejarah proses pendidikan Islam sejak zaman Rasulullah SAW.

Pendidikan Islam pada masa Rasulullah memiliki landasan dasar wahyu pertama yang berbunyi “iqro” yang artinya “bacalah”, hafalan, mencatat dan menulis. Pendidikan pada masa Rasulullah menggunakan kurikulum Al-Qur’an yang Allah wahyukan sesuai dengan kondisi umat Islam pada saat itu. Metode yang digunakan pada masa Rasulullah yaitu metode ceramah, dialog, diskusi atau tanya jawab, metode diskusi (untuk mengambil keputusan), metode demonstrasi dan metode eksperimen. Yang kesemuanya dilakukan di dalam rumah (non formal). Tempat pendidikan di luar rumah adalah masjid di situ Nabi dan para sahabat berdiskusi permasalahan umat. Sehingga di zaman Rasulullah belum dikenal institusi pendidikan yang bernama sekolah.

Pendidikan di zaman Khulafaur Rasyidun. Pada masa Khilafah Abu Bakar pendidikan Islam lebih mengarah kepada pembentukkan akhlak peserta didik. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ialah belajar tentang membaca dan menulis Al-Qur’an dan menghafalnya serta belajar pokok-pokok agama Islam. Pendidikan pada masa Umar bin Khattab juga lebih menekankan pada pengajaran bahasa Arab. Pada masa Khalifah Utsman bin Affan pengkodifikasian tulisan ayat-ayat al-Qur’an yang berserakan. Adapun pendidikan Islam hanya meneruskan yang sudah ada. Pada masa Khalifah Ali bin Abi Tholib tidak memfokuskan kegiatan pemerintahannya pada peningkatan pendidikan. Tetapi, memfokuskan untuk meneruskan pada masa pemerintahan nabi Muhammad SAW yaitu pengajaran baca tulis dan doktrin Islam yang bersumber pada Al Qur’an dan Hadits.

Pendidikan di zaman Bani Umayyah mengarah ke sekolah yang lebih profesional. Kondisi pendidikan di masa Bani Umayyah sudah lebih berkembang mengacu pada kemampuan ilmu agama dan ilmu umum supaya Dinasti Umayyah dapat unggul dalam segala bidang. Dalam kurikulum yang diusung dari bidang agama, sejarah, bahasa, dan filsafat menunjukkan seriusnya dalam peningkatan ilmu agama dan umum. Lembaga-lembaga yang dibuat oleh Dinasti Umayyah antara lain : Istana, Badiah, al-Bimaritsan, dan Perpustakaan. Pengelolaan pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan (planning), mengorganisasikan (organizing), melaksanakan (actualing), mengawasi (controlling), membina (supervising), dan menilai (evaluating) hal-hal yang berkaitan dengan seluruh aspek pendidikan: kurikulum, proses belajar mengajar, hasil pembelajaran, kinerja para guru dan staf, pelayanan administrasi pendidikan, dan respon masyarakat. Jadi kesimpulannya karena perkembangan ilmu pengetahuan kedalam ragam bidang dibutuhkan proses yang lebih profesional pendidikan tidak hanya dilakukan di rumah melainkan di sekolah sekolah dengan perencanaan yang lebih baik.

Pada zaman bani abbasiah melahirkan cabang keilmuan. Di bidang ilmu pengetahuan masa Abbasiyah mencatat dimulainya sistemasi beberapa cabang keilmuan seperti Tafsir, Hadits, dan Fiqh. Khususnya sejak tahun 143 H. para ulama mulai menyusun buku dalam bentuknya yang sistematis baik di bidang ilmu tafsir, hadits, maupun ilmu fiqh. Masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Pada masa Dinasti Abbasiyah metode pendidikan atau pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni: metode lisan, metode menghafal, dan metode tulisan.

Materi pendidikan dasar pada masa daulah Abbasiyah mengandung unsur demokrasi, di samping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang bersifat pilihan (ikhtiari). Pada masa dinasti Abbasiyah banyak tokoh-tokoh yang muncul sesuai dengan bidang-bidangnya. Sehingga, bidang-bidang tersebut mampu mendorong kemajuan pendidikan pada masa itu. Bahkan pendirian universitas pun terjadi di masa daulah abasiah.

Sistem Pendidikan Modern

Setelah runtuhnya kekhalifahan Islam abad 18 dan gencarnya Gerakan sekularisasi dan liberalisasi dunia, muncullah dikotomi ilmu menjadi ilmu Islam dan ilmu non Islam, ilmu Islam seperti tauhid fiqih dll ilmu non Islam seperti geografi fisika kimia dll padahal dalam Islam tidak mengenal demikian, melainkan ilmu fardhu ain dan ilmu fardhu kifayah. Dalam pendidikan modern ini kita sudah mengenal pendidikan dengan pola pendidikan formal yaitu sekolah dan kampus. Tidak hanya rumah dan masjid tetapi sekolah dan kampus menjadi tempat pendidikan yang masuk dalam sistem pendidikan modern. Tidak hanya itu teknologi yang digunakan dalam proses pendidikan modern pun menambah kekhasan sebuah pendidikan modern sehingga ada cabang ilmu baru dalam pendidikan yaitu teknologi pendidikan.

Jadi dari perkembangan proses pendidikan di dunia Islam kita dapat simpulkan bahwa pendidikan di sekolah dalam Islam yang dipahami kebanyakan orang saat ini adalah hasil perkembangan dari proses panjang sebuah peradaban. Sifatnya tidak mutlak karena masih ada yang lebih esensial jika kita kembalikan kepada esensi pendidikan manusia dalam Islam itu menurut Al-Quran dan hadits. Dalam beberapa literasi Pendidikan Islam tujuan utama Pendidikan manusia adalah bagaimana menyiapkan manusia dewasa yang bertanggung jawab sebagai pemimpin dan pengelola bumi (khalifah) oleh karena itu esensi yang terdapat dalam pendidikan adalah:
1. Bagaimana mengenalkan Anak kepada Allah sehingga memiliki sasa takut kepadaNya (QS Al-Baqoroh; 132-133; Pendidikan Tauhid)
2. Bagaimna mendidik anak agar Mandiri dan bertanggung (QS Al-Anbiya;78-79)
3. Bagaimana mendidik anak untuk sebuah problem solving (Pendidikan akal)
4. Bagaimana menemukan minat dan bakat anak sehingga dapat dimanfaatkan untuk manusia ( QS Al-Isra : 84).

Jika ke 4 hal ini sudah terpenuhi maka anak sudah mampu untuk hidup dan menjalankan kehidupan untuk memakmurkan bumi sebagai khalifah di muka bumi dan itu adalah esensi pendidikan di dalam Islam. Oleh karena itu harus dijadikan landasan utama dan ukuran kesuksesan sebuah pendidikan. Jika gagal yang salah satu maka niscaya gagalah sebuah proses pendidikan menurut Islam, karena belum mampu membentuk manusia yang siap mengelola bumi. Pendidikan modern pun tidak boleh melupakan esensi pendidikan bahkan harus memperkuat agar mencapai tujuan pendidikan sesungguhnya.

Begitupun di masa pandemi ketika menyulitkan untuk melakukan proses pendidikan formal dengan program dan kurikulum yang sudah jauh berkembang alangkah bijak jika Kembali kepada Pendidikan yang lebih esensial, sebab tidak mungkin melimpahkan semua program dan kurikulum untuk dipaksa dijalankan di rumah. Dengan keadaan orang tua yang tidak memiliki kemampuan seperti seorang guru akhirnya menimbulkan beban dan kekerasan dalam rumah tangga dengan korbannya adalah anak anak.

Dalam pendidikan Islam dikenal 3 tempat pendidikan yaitu rumah masjid dan sekolah. Ketiganya memiliki fungsi pendidikan masing-masing. Sesuai dengan perannya masing-masing. Dan ketikanya memiliki penekanan sendiri sendiri yang tidak bisa dicampur aduk satu sama lain. Jika dicampur aduk maka terjadilah kondisi pendidikan seperti di masa pandemi ini semua beban sekolah harus ditumpahkan kepada sosok di rumah yaitu orang tua. Padahal tidaklah demikian guru orang tua punya perannya masing masing dalam usaha pendidikan anak.

Jika pun akan dibuat kurikulum khusus selama pandemi maka kurikulum itu harus mengacu pada sosok orang tua dan mengacu kepada esensi pendidikan dengan program pengembangan pemahaman tauhid, akhlak dan skill anak. Sehingga pendidikan di rumah akan berjalan secara alami dan memiliki nilai lebih yaitu dukungan penuh pihak sekolah. Tidak lagi menjadi beban orang tua karena program sejalan dengan kewajiban orang tua di rumah.

Biodata penulis : Penulis adalah alumni DN Angkatan 18. Lulusan ushuludin tafsir hadis IAIN syarif hidayatullah Jakarta, S2 di UIK bogor pada program pemikiran dan Pendidikan Islam (Program PKU Kerjasama Baznas dan Dewan Da’wah). Aktif di kegiatan sosial dan sebagai dosen tetap di Universitas Pamulang, mengajar pada mata kuliah PAI dan Ekonomi Syariah. Dan saat ini sedang melanjutkan studi S3 ekonomi Syariah di kampus Pasca sarjana IEF trisakti jakarta

DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr.H. Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Pt Raja grafindo juni tahun ,2004
Prof. Dr.Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islami, Pt Remaja Rosda Karya;Bandung cetakan ke lima 2012.
Munif chatib, Gurunya manusia , Penerbit kaifa, Bandung 2011
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, (terj), pustaka Amani Jakarta, cet ke 3 juni 2002

(***)



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kembali ke Esensi Pendidikan Dalam Islam di Masa Pandemi"

Posting Komentar