Bye Bye 380
RMOLBANTEN Dua jenis pesawat ini tidak akan diproduksi lagi. Minggu ini keduanya diluncurkan untuk kali terakhir. Satu dari keluarga Boeing (Amerika) dan satunya lagi dari Airbus (Eropa). Itulah nasib jenis pesawat Boeing 787 dan Airbus A380. Dua-duanya ternyata kurang laku. Padahal orang seperti saya sangat kagum dengan A380 itu.
Indonesia pernah merencanakan membeli A380. Yakni untuk angkutan jamaah haji. Dananya pun akan dipinjam dari dana haji. Hitungan sudah dibuat: masuk. Di luar musim haji masih bisa untuk pelayanan umrah.
Batal.
Tidak ada bandara yang bisa didarati A380. Landasan terlebar kita, di Soekarno Hatta, Cengkareng, masih kurang lebar. Memang bidang aspalnya sudah cukup. Roda-rodanya bisa menggelinding sempurna di aspal. Tapi posisi mesin terluar A380 masih akan terlalu dekat dengan rumput.
Anda sudah tahu: A380 itu mesinnya empat buah. Dua di sayap kanan, dua lagi di sayap kiri. Era pesawat-besar-empat-mesin sebenarnya sudah dikoreksi oleh Boeing 777. Pesawat berbadan lebar tidak lagi harus bermesin 4.
Begitu besarnya B777 tapi tetap bisa dengan 2 mesin. Efisiennya bukan main. Maka B777 laris sekali. Sampai tahun lalu, sebelum pandemi, sudah ada 1.598 pesawat B777 yang mondar-mandir di langit biru. Masih ada 500 lagi order yang belum dikirim.
Itulah pesawat berbadan lebar yang paling sukses penjualannya. Itu sekaligus mengakhiri sejarah pesawat berbadan lebar sebelumnya: Boeing 747. Yang bermesin 4 buah. Yang bagian depannya dua tingkat itu. Yang saya terkagum-kagum ketika kali pertama menaikinya: Lufthansa.
Dari 598 buah Boeing 747 yang pernah dibuat, tahun ini tinggal 25 pesawat yang masih mengudara. Selebihnya sudah harus pensiun. Yang masih mengudara itu pun sebagian besar pesawat cargo. Yang tanpa jendela kaca itu. Yang moncong depannya bisa dibuka: dari moncong depan itulah barang-barang berukuran besar dikeluarkan dari pesawat.
Saya pernah mencarter B747. Dari Jerman ke Jakarta. Itu karena saya 'kalah janji'. Waktu itu saya baru diminta mengambil alih manajemen harian Merdeka. Yang meminta adalah pemiliknya sendiri: BM Diah -tokoh pers masa lalu dan juga pernah menjabat menteri penerangan.
Saat Merdeka diserahkan ke kami oplahnya tinggal ''satu becak'' -mengutip kata-kata Margiono yang saya tugaskan menjadi dirut barunya.
Saya bilang kepadanya: kapan pun oplah Merdeka meningkat menjadi 40.000 saya belikan mesin cetak yang baru dan yang besar. Saya pikir target itu baru tercapai 2 tahun kemudian.
Ternyata, dalam 6 bulan, oplah Merdeka melewati angka 40.000. Saya kaget. Tapi saya tidak pura-pura lupa. Saya pun kontak ke relasi di Jerman: apakah ada mesin baru yang siap dikirim.
Saya tahu: cara membeli mesin cetak web offset tidak seperti itu. Harus tanda tangan kontrak dulu baru mesinnya dibuat. Dua tahun kemudian baru bisa dikirim. Perjalanannya pun bisa dua bulan -naik kapal dan mampir-mampir pelabuhan lain.
Ternyata saya dapat jawaban yang tidak kalah mengejutkan: ada mesin baru yang siap dikirim. Kebetulan ada order dari Israel yang tiba-tiba dibatalkan. Saya bisa membelinya dengan harga 2 tahun sebelumnya saat mesin itu dipesan.
Dua hari kemudian mesin itu sudah tiba di Cengkareng, Jakarta. Dinaikkan Boeing 747 cargo. Margiono memang hebat. Tidak heran kalau kelak -delapan tahun lalu- terpilih sebagai ketua umum PWI Pusat. Pun terpilih lagi untuk periode kedua.
Itulah kenangan manis bersama Boeing 747. Tidak lama lagi pesawat jenis itu akan hilang dari langit. Kalah efisien dengan ''adik''-nya, Boeing 777, yang bermesin dua. Yang begitu laris, apalagi kalau tidak ada pandemi lagi.
Tapi Airbus tidak takut untuk tetap membuat pesawat besar bermesin 4. Memang boros bahan bakar tapi pesawat baru itu dibuat besar sekali. Lebih besar dari Boeing 747. Bisa untuk 500 penumpang.
Itulah pesawat A380, pesawat penumpang terbesar yang pernah dibuat manusia. Yang desainnya dua tingkat -sejak depan sampai belakang. Yang sayapnya agak melengkung -kelihatan anggun sekali.
Sejak ada A380 itu kekaguman saya ke Boeing 747 hilang. Maka, belakangan, setiap kali ke Amerika saya pilih naik Emirate. Lewat Dubai. Itu karena saya tahu: dari Dubai ke New York akan pakai Emirate A380. Hanya dari Jakarta ke Dubai yang menggunakan B777.
Saya selalu mengagumi interior A380 Emirate. Elite sekali. Termasuk pemilihan kombinasi warnanya. Apalagi penataan bar yang ada di bagian tengah pesawat. Lapang sekali. Bisa salat di lantainya berjamaah enam orang.
Suatu saat saya lagi di Inggris. Ingin langsung ke Beijing. Saya lihat ada penerbangan Amsterdam-Beijing dengan A380. Milik China Southern -ä¸å½åèª. "Kok Tiongkok juga sudah memiliki A380," kata saya dalam hati.
Saya antusias sekali. Saya bayangkan interiornya akan seperti A380-nya Emirate. Maka saya dari London terbang dulu ke Amsterdam dengan pesawat berukuran sedang. Hanya satu jam penerbangan. Tiba di Amsterdam hati saya berkibar-kibar: akan naik A380 lagi.
Tapi begitu masuk pesawat hati saya seperti bara disiram es. Ternyata biar pun sama-sama A380 tidak sama rasanya. Beda selera. Jauh.
Pesawat 380 memang terlalu besar. Akhirnya bisa dibilang tidak sukses. Kenyataan jauh dari asumsi awal. Sampai sekarang hanya diproduksi 251 pesawat A380 -itu pun yang separonya (123) milik Emirate.
Padahal, ketika direncanakan dulu, setidaknya akan ada order 1.200 pesawat. Dalam 20 tahun.
Tahun ini A380 genap 20 tahun. Kenyataannya begitu jauh meleset. Jumlah order tidak sampai 300 pesawat. Maka produksi A380 dihentikan. Yang sudah terjual dijamin pemeliharaannya sampai paling tidak tahun 2035.
Memang A380 benar-benar bisa mengalahkan Boeing 747. Khususnya dalam hal efisiensi. Sama-sama bermesin 4 biaya per kursinya lebih hemat 12 persen.
Kenyataannya order A380 tidak sampai separo dari Boeing 747. Penyebabnya: A380 ini ternyata hanya cocok untuk jurusan kota besar ke kota besar. Point to point.
Padahal banyak penerbangan memerlukan jalur transit. Misalnya London-Beijing-Hangzhou. London-Beijing bisa dengan A380. Tapi rute sambungannya tidak bisa pakai A380 -bandaranya tidak memenuhi syarat.
Dulu, waktu A380 direncanakan, diperkirakan akan banyak bandara yang melakukan up grading. Ternyata tidak.
Justru 10 tahun terakhir muncul pesawat baling-baling yang bisa untuk 70 penumpang: ATR, buatan Prancis. Larisnya bukan main. Mereka inilah yang justru sukses besar.
Maka A380 dinyatakan gagal secara komersial. Padahal secara ekonomis dan teknologi dinyatakan unggul. Apalagi muncul pandemi. Jangankan order baru. Order lama pun dibatalkan. Emirate yang sudah order sebanyak 167 pesawat, membatalkan sebagian: tinggal 132 pesawat.
Sementara itu Boeing 787, juga dianggap gagal. Jumlah pesanan tidak sampai separo. Padahal sudah sempat ada order sebanyak 992. Itu masih dianggap tidak ekonomis untuk dilanjutkan.
Maka minggu ini ada dua jenis pesawat besar yang mengucapkan bye-bye. Covid-19 tidak hanya membunuh manusia, tapi juga membunuh kebanggaan teknologi. [red]
from RMOLBanten.com https://ift.tt/3qXSA0M
via gqrds
Indonesia pernah merencanakan membeli A380. Yakni untuk angkutan jamaah haji. Dananya pun akan dipinjam dari dana haji. Hitungan sudah dibuat: masuk. Di luar musim haji masih bisa untuk pelayanan umrah.
Batal.
Tidak ada bandara yang bisa didarati A380. Landasan terlebar kita, di Soekarno Hatta, Cengkareng, masih kurang lebar. Memang bidang aspalnya sudah cukup. Roda-rodanya bisa menggelinding sempurna di aspal. Tapi posisi mesin terluar A380 masih akan terlalu dekat dengan rumput.
Anda sudah tahu: A380 itu mesinnya empat buah. Dua di sayap kanan, dua lagi di sayap kiri. Era pesawat-besar-empat-mesin sebenarnya sudah dikoreksi oleh Boeing 777. Pesawat berbadan lebar tidak lagi harus bermesin 4.
Begitu besarnya B777 tapi tetap bisa dengan 2 mesin. Efisiennya bukan main. Maka B777 laris sekali. Sampai tahun lalu, sebelum pandemi, sudah ada 1.598 pesawat B777 yang mondar-mandir di langit biru. Masih ada 500 lagi order yang belum dikirim.
Itulah pesawat berbadan lebar yang paling sukses penjualannya. Itu sekaligus mengakhiri sejarah pesawat berbadan lebar sebelumnya: Boeing 747. Yang bermesin 4 buah. Yang bagian depannya dua tingkat itu. Yang saya terkagum-kagum ketika kali pertama menaikinya: Lufthansa.
Dari 598 buah Boeing 747 yang pernah dibuat, tahun ini tinggal 25 pesawat yang masih mengudara. Selebihnya sudah harus pensiun. Yang masih mengudara itu pun sebagian besar pesawat cargo. Yang tanpa jendela kaca itu. Yang moncong depannya bisa dibuka: dari moncong depan itulah barang-barang berukuran besar dikeluarkan dari pesawat.
Saya pernah mencarter B747. Dari Jerman ke Jakarta. Itu karena saya 'kalah janji'. Waktu itu saya baru diminta mengambil alih manajemen harian Merdeka. Yang meminta adalah pemiliknya sendiri: BM Diah -tokoh pers masa lalu dan juga pernah menjabat menteri penerangan.
Saat Merdeka diserahkan ke kami oplahnya tinggal ''satu becak'' -mengutip kata-kata Margiono yang saya tugaskan menjadi dirut barunya.
Saya bilang kepadanya: kapan pun oplah Merdeka meningkat menjadi 40.000 saya belikan mesin cetak yang baru dan yang besar. Saya pikir target itu baru tercapai 2 tahun kemudian.
Ternyata, dalam 6 bulan, oplah Merdeka melewati angka 40.000. Saya kaget. Tapi saya tidak pura-pura lupa. Saya pun kontak ke relasi di Jerman: apakah ada mesin baru yang siap dikirim.
Saya tahu: cara membeli mesin cetak web offset tidak seperti itu. Harus tanda tangan kontrak dulu baru mesinnya dibuat. Dua tahun kemudian baru bisa dikirim. Perjalanannya pun bisa dua bulan -naik kapal dan mampir-mampir pelabuhan lain.
Ternyata saya dapat jawaban yang tidak kalah mengejutkan: ada mesin baru yang siap dikirim. Kebetulan ada order dari Israel yang tiba-tiba dibatalkan. Saya bisa membelinya dengan harga 2 tahun sebelumnya saat mesin itu dipesan.
Dua hari kemudian mesin itu sudah tiba di Cengkareng, Jakarta. Dinaikkan Boeing 747 cargo. Margiono memang hebat. Tidak heran kalau kelak -delapan tahun lalu- terpilih sebagai ketua umum PWI Pusat. Pun terpilih lagi untuk periode kedua.
Itulah kenangan manis bersama Boeing 747. Tidak lama lagi pesawat jenis itu akan hilang dari langit. Kalah efisien dengan ''adik''-nya, Boeing 777, yang bermesin dua. Yang begitu laris, apalagi kalau tidak ada pandemi lagi.
Tapi Airbus tidak takut untuk tetap membuat pesawat besar bermesin 4. Memang boros bahan bakar tapi pesawat baru itu dibuat besar sekali. Lebih besar dari Boeing 747. Bisa untuk 500 penumpang.
Itulah pesawat A380, pesawat penumpang terbesar yang pernah dibuat manusia. Yang desainnya dua tingkat -sejak depan sampai belakang. Yang sayapnya agak melengkung -kelihatan anggun sekali.
Sejak ada A380 itu kekaguman saya ke Boeing 747 hilang. Maka, belakangan, setiap kali ke Amerika saya pilih naik Emirate. Lewat Dubai. Itu karena saya tahu: dari Dubai ke New York akan pakai Emirate A380. Hanya dari Jakarta ke Dubai yang menggunakan B777.
Saya selalu mengagumi interior A380 Emirate. Elite sekali. Termasuk pemilihan kombinasi warnanya. Apalagi penataan bar yang ada di bagian tengah pesawat. Lapang sekali. Bisa salat di lantainya berjamaah enam orang.
Suatu saat saya lagi di Inggris. Ingin langsung ke Beijing. Saya lihat ada penerbangan Amsterdam-Beijing dengan A380. Milik China Southern -ä¸å½åèª. "Kok Tiongkok juga sudah memiliki A380," kata saya dalam hati.
Saya antusias sekali. Saya bayangkan interiornya akan seperti A380-nya Emirate. Maka saya dari London terbang dulu ke Amsterdam dengan pesawat berukuran sedang. Hanya satu jam penerbangan. Tiba di Amsterdam hati saya berkibar-kibar: akan naik A380 lagi.
Tapi begitu masuk pesawat hati saya seperti bara disiram es. Ternyata biar pun sama-sama A380 tidak sama rasanya. Beda selera. Jauh.
Pesawat 380 memang terlalu besar. Akhirnya bisa dibilang tidak sukses. Kenyataan jauh dari asumsi awal. Sampai sekarang hanya diproduksi 251 pesawat A380 -itu pun yang separonya (123) milik Emirate.
Padahal, ketika direncanakan dulu, setidaknya akan ada order 1.200 pesawat. Dalam 20 tahun.
Tahun ini A380 genap 20 tahun. Kenyataannya begitu jauh meleset. Jumlah order tidak sampai 300 pesawat. Maka produksi A380 dihentikan. Yang sudah terjual dijamin pemeliharaannya sampai paling tidak tahun 2035.
Memang A380 benar-benar bisa mengalahkan Boeing 747. Khususnya dalam hal efisiensi. Sama-sama bermesin 4 biaya per kursinya lebih hemat 12 persen.
Kenyataannya order A380 tidak sampai separo dari Boeing 747. Penyebabnya: A380 ini ternyata hanya cocok untuk jurusan kota besar ke kota besar. Point to point.
Padahal banyak penerbangan memerlukan jalur transit. Misalnya London-Beijing-Hangzhou. London-Beijing bisa dengan A380. Tapi rute sambungannya tidak bisa pakai A380 -bandaranya tidak memenuhi syarat.
Dulu, waktu A380 direncanakan, diperkirakan akan banyak bandara yang melakukan up grading. Ternyata tidak.
Justru 10 tahun terakhir muncul pesawat baling-baling yang bisa untuk 70 penumpang: ATR, buatan Prancis. Larisnya bukan main. Mereka inilah yang justru sukses besar.
Maka A380 dinyatakan gagal secara komersial. Padahal secara ekonomis dan teknologi dinyatakan unggul. Apalagi muncul pandemi. Jangankan order baru. Order lama pun dibatalkan. Emirate yang sudah order sebanyak 167 pesawat, membatalkan sebagian: tinggal 132 pesawat.
Sementara itu Boeing 787, juga dianggap gagal. Jumlah pesanan tidak sampai separo. Padahal sudah sempat ada order sebanyak 992. Itu masih dianggap tidak ekonomis untuk dilanjutkan.
Maka minggu ini ada dua jenis pesawat besar yang mengucapkan bye-bye. Covid-19 tidak hanya membunuh manusia, tapi juga membunuh kebanggaan teknologi. [red]
from RMOLBanten.com https://ift.tt/3qXSA0M
via gqrds
0 Response to "Bye Bye 380"
Posting Komentar