Ancaman Nyata Afghanistan di Depan Mata, Bukan Taliban Tapi...
RMOLá¸ANTEN Agustus menjadi bulan yang bersejarah bagi Afghanistan dan telah menyita perhatian dunia. Di bulan ini, pasukan Amerika Serikat ditarik dari Afghanistan, yang berujung pada keberhasilan Taliban menguasai Istana kepresidenan dan membuat Presiden Ashraf Ghani melarikan diri ke Uni Emirat Arab.
Gurubesar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana sudah mengingatkan pemerintah untuk tidak terburu-buru mengakui Taliban yang secara de facto telah berkuasa di Afghanistan. Sebab, kondisi politik internal di negeri tersebut masih terbilang cair.
Masih cair lantaran proses pembentukan pemerintahan inklusif yang dijanjikan oleh Taliban masih berlangsung. Salah satu pendiri Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar yang selama ini mengasingkan diri di Qatar telah kembali ke Afghanistan. Setelah ke Kandahar yang menjadi basis Taliban, Baradar tiba di Kabul pada Sabtu (21/8) untuk membahas persoalan ini.
Setelah mengambil alih Kabul pada pekan lalu, Taliban memang menyatakan dirinya tidak akan lagi sama dengan wajah pemerintahan pada 1996, sebelum digulingkan Amerika Serikat.
Buktinya, Taliban saat ini membuka negosiasi dengan tiga politisi senior Afghanistan, yang menyatakan diri sebagai Dewan Koordinasi untuk bertanggung jawab atas proses transisi damai setelah kaburnya Ashraf Ghani.
Mereka adalah mantan Presiden Hamid Karzai, Ketua Dewan Tinggi untuk Rekonsiliasi Nasional Abdullah Abdullah, dan pemimpin partai Islam Gulbuddin Hekmatyar.
Adapun, Ashraf Ghani yang dikabarkan mengasingkan diri ke Uni Emirat Arab juga mulai buka suara di media sosial, dengan mengatakan siap berunding dengan Taliban.
Di sisi lain, ada Wakil Presiden Pertama Amrullah Saleh yang menyatakan diri sebagai penjabat (caretaker) presiden yang sah sesuai konstitusi. Saleh tengah membentuk kelompok perlawanan terhadap Taliban dengan basis utama di Provinsi Panjshir. Kelompok itu dilaporkan sudah merebut beberapa distrik di sekitar yang sebelumnya diambil alih Taliban.
Tidak hanya itu, Hikmahanto Juwana juga meminta publik menyudahi diskursus mengenai polemik Taliban yang berhasil merebut pemerintahan Afganistan. Katanya, diskursus yang terjadi di Indonesia tidak akan berdampak apapun di Afghanistan.
Ancaman Afghanistan
Atas pertimbangan tersebut, tulisan ini tidak akan membahas mengenai politik dalam negeri Afghanistan. Tapi lebih pada ancaman nyata yang akan terjadi di negeri yang sedang bergejolak tersebut.
Ancaman tersebut adalah sebaran virus corona baru atau Covid-19.
Berdasarkan catatan Worldmeters, sebaran di Afghanistan per 22 Agustus 2021 memang terbilang sedikit untuk ukuran penduduk berjumlah total lebih dari 30 juta orang. Apalagi di tengah ketegangan, jumlah tes yang dilakukan juga menciut.
Kasus terkonfirmasi positif tercatat 152.511 kasus. Dengan rincian 7.070 orang meninggal dan yang berhasil pulih 107.927 orang.
Namun perlu diingat bahwa virus corona merupakan virus yang tidak diskriminatif atau bisa menyerang siapa saja tanpa pandang bulu, warna kulit, dan suku.
Potensi Sebaran Virus
Selama gejolak politik terjadi di Afghanistan, ada satu hal yang layak disoroti. Yaitu minimnya disiplin protokol kesehatan, khususnya soal pemakaian masker dan menjaga jarak. Hal ini bisa dilihat jelas saat Taliban menggelar jumpa pers pada Selasa (17/8).
Jurubicara Taliban, Zabihullah Mujahid dan penerjemahnya tampak tidak mengenakan masker. Di sisi lain, ada juga foto yang memperlihatkan sejumlah wartawan duduk lesehan dan tanpa jaga saat jumpa pers. Hanya ada satu wartawan mengenakan masker. Dia berdiri dengan memegang kamera.
Tidak hanya itu, peristiwa kekacauan di Bandara Kabul juga menambah potensi sebaran tinggi. Warga yang ingin dievakuasi tampak berjubel dan minim masker. Parahnya lagi, para tentara asing yang berjaga juga tidak mengenakan masker, sehingga potensi sebaran sangat tinggi.
Belum lagi aksi unjuk rasa yang dilakukan para warga yang menolak kehadiran Taliban. Mereka juga sama. Berkerumun dan tak bermasker.
Bos Tesla, Elon Musk, yang selama ini bungkam mengenai perkembangan di Afghanistan bahkan ikut menyuarakan kekhawatiran situasi Covid-19 di sana.
Di Twitter, Musk mengunggah foto para pejuang Taliban tanpa masker dengan tambahan keterangan: "Apakah mereka tahu mengenai varian Delta!?"
Dampak Virus
Dampak dari sebaran virus memang tidak langsung terjadi. Paling tidak butuh waktu sebulan atau dua bulan untuk membuat rumah sakit kolaps.
Seperti di Indonesia. Sebaran virus yang diduga terjadi pada Bulan Mei yang disebut-sebut karena masyarakat tidak patuh pada larangan mudik hingga masuknya warga negara asing, dampaknya baru terasa di bulan Juli.
Buntutnya pada awal Juli, Indonesia mengalami ledakan kasus hingga membuat rumah sakit kolaps karena kebanyakan pasien. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat kemudian diambil pemerintah agar sebaran menjadi lebih terkendali.
Begitu juga di India. Perayaan Kumbh Mela yang membuat jutaan orang berkumpul di tepi Sungai Gangga juga membuat lonjakan kasus di bulan April. Rangkaian festival ini sudah dimulai sejak 14 Januari hingga 27 April.
Salah satu rangkaiannya adalah tradisi mandi suci di Sungai Gangga yang diyakini dapat menghapuskan dosa-dosa seseorang dan membebaskannya dari siklus hidup dan mati.
Cara Afghanistan Atasi Virus
Gejolak politik internal tentu akan membuat pelayanan publik terabaikan. Begitu dengan pelayanan kesehatan. Indonesia saja yang nyaris tanpa ada gejolak di tingkat elite, eksekutif maupun legislatif, kelimpungan saat menghadapi pandemi.
Bahkan Wakil Presiden Maruf Amin pernah menyebut Indonesia pontang panting.
Di negeri tetangga Malaysia, gejolak politik yang tanpa senjataâ juga telah membuat negeri tersebut kepayahan.
Kasus harian di Malaysia per Sabtu (21/8) mencapai 22 ribu kasus baru dengan total kasus terkonfirmasi positif mencapai 1,5 juta kasus. Cukup besar untuk negara yang berpenduduk hanya 30 juta orang.
Lalu bagaimana dengan Afghanistan?
Sudah barang tentu nasib tak jauh beda dengan Indonesia dan Malaysia. Bahkan bisa lebih buruk karena gejolak yang terjadi mengubah kepemimpinan negeri tersebut.
Afghanistan tentu tidak bisa mengandalkan Amerika Serikat yang sudah menarik pasukannya. Kini mereka bergantung pada dua negara rekan baruâ, Rusia dan China.
China terbilang berpengalaman dalam mengatasi virus yang kali pertama menyebar di wilayahnya itu. Di mana kini, negeri Tirai Bambu bukan lagi menjadi lumbung penyumbang virus corona.
Sementara Rusia bisa memamerkan vaksin Sputnik V yang diklaim memiliki efikasi hingga 97,8 persen.
Bagi kedua negara tersebut, menolong Afghanistan adalah peluang untuk bisa menjadi mitra strategis yang berpengaruh selepas Amerika Serikat cabut. [red]
from RMOLBanten.com https://ift.tt/3miN1vc
via gqrds
Gurubesar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana sudah mengingatkan pemerintah untuk tidak terburu-buru mengakui Taliban yang secara de facto telah berkuasa di Afghanistan. Sebab, kondisi politik internal di negeri tersebut masih terbilang cair.
Masih cair lantaran proses pembentukan pemerintahan inklusif yang dijanjikan oleh Taliban masih berlangsung. Salah satu pendiri Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar yang selama ini mengasingkan diri di Qatar telah kembali ke Afghanistan. Setelah ke Kandahar yang menjadi basis Taliban, Baradar tiba di Kabul pada Sabtu (21/8) untuk membahas persoalan ini.
Setelah mengambil alih Kabul pada pekan lalu, Taliban memang menyatakan dirinya tidak akan lagi sama dengan wajah pemerintahan pada 1996, sebelum digulingkan Amerika Serikat.
Buktinya, Taliban saat ini membuka negosiasi dengan tiga politisi senior Afghanistan, yang menyatakan diri sebagai Dewan Koordinasi untuk bertanggung jawab atas proses transisi damai setelah kaburnya Ashraf Ghani.
Mereka adalah mantan Presiden Hamid Karzai, Ketua Dewan Tinggi untuk Rekonsiliasi Nasional Abdullah Abdullah, dan pemimpin partai Islam Gulbuddin Hekmatyar.
Adapun, Ashraf Ghani yang dikabarkan mengasingkan diri ke Uni Emirat Arab juga mulai buka suara di media sosial, dengan mengatakan siap berunding dengan Taliban.
Di sisi lain, ada Wakil Presiden Pertama Amrullah Saleh yang menyatakan diri sebagai penjabat (caretaker) presiden yang sah sesuai konstitusi. Saleh tengah membentuk kelompok perlawanan terhadap Taliban dengan basis utama di Provinsi Panjshir. Kelompok itu dilaporkan sudah merebut beberapa distrik di sekitar yang sebelumnya diambil alih Taliban.
Tidak hanya itu, Hikmahanto Juwana juga meminta publik menyudahi diskursus mengenai polemik Taliban yang berhasil merebut pemerintahan Afganistan. Katanya, diskursus yang terjadi di Indonesia tidak akan berdampak apapun di Afghanistan.
Ancaman Afghanistan
Atas pertimbangan tersebut, tulisan ini tidak akan membahas mengenai politik dalam negeri Afghanistan. Tapi lebih pada ancaman nyata yang akan terjadi di negeri yang sedang bergejolak tersebut.
Ancaman tersebut adalah sebaran virus corona baru atau Covid-19.
Berdasarkan catatan Worldmeters, sebaran di Afghanistan per 22 Agustus 2021 memang terbilang sedikit untuk ukuran penduduk berjumlah total lebih dari 30 juta orang. Apalagi di tengah ketegangan, jumlah tes yang dilakukan juga menciut.
Kasus terkonfirmasi positif tercatat 152.511 kasus. Dengan rincian 7.070 orang meninggal dan yang berhasil pulih 107.927 orang.
Namun perlu diingat bahwa virus corona merupakan virus yang tidak diskriminatif atau bisa menyerang siapa saja tanpa pandang bulu, warna kulit, dan suku.
Potensi Sebaran Virus
Selama gejolak politik terjadi di Afghanistan, ada satu hal yang layak disoroti. Yaitu minimnya disiplin protokol kesehatan, khususnya soal pemakaian masker dan menjaga jarak. Hal ini bisa dilihat jelas saat Taliban menggelar jumpa pers pada Selasa (17/8).
Jurubicara Taliban, Zabihullah Mujahid dan penerjemahnya tampak tidak mengenakan masker. Di sisi lain, ada juga foto yang memperlihatkan sejumlah wartawan duduk lesehan dan tanpa jaga saat jumpa pers. Hanya ada satu wartawan mengenakan masker. Dia berdiri dengan memegang kamera.
Tidak hanya itu, peristiwa kekacauan di Bandara Kabul juga menambah potensi sebaran tinggi. Warga yang ingin dievakuasi tampak berjubel dan minim masker. Parahnya lagi, para tentara asing yang berjaga juga tidak mengenakan masker, sehingga potensi sebaran sangat tinggi.
Belum lagi aksi unjuk rasa yang dilakukan para warga yang menolak kehadiran Taliban. Mereka juga sama. Berkerumun dan tak bermasker.
Bos Tesla, Elon Musk, yang selama ini bungkam mengenai perkembangan di Afghanistan bahkan ikut menyuarakan kekhawatiran situasi Covid-19 di sana.
Di Twitter, Musk mengunggah foto para pejuang Taliban tanpa masker dengan tambahan keterangan: "Apakah mereka tahu mengenai varian Delta!?"
Dampak Virus
Dampak dari sebaran virus memang tidak langsung terjadi. Paling tidak butuh waktu sebulan atau dua bulan untuk membuat rumah sakit kolaps.
Seperti di Indonesia. Sebaran virus yang diduga terjadi pada Bulan Mei yang disebut-sebut karena masyarakat tidak patuh pada larangan mudik hingga masuknya warga negara asing, dampaknya baru terasa di bulan Juli.
Buntutnya pada awal Juli, Indonesia mengalami ledakan kasus hingga membuat rumah sakit kolaps karena kebanyakan pasien. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat kemudian diambil pemerintah agar sebaran menjadi lebih terkendali.
Begitu juga di India. Perayaan Kumbh Mela yang membuat jutaan orang berkumpul di tepi Sungai Gangga juga membuat lonjakan kasus di bulan April. Rangkaian festival ini sudah dimulai sejak 14 Januari hingga 27 April.
Salah satu rangkaiannya adalah tradisi mandi suci di Sungai Gangga yang diyakini dapat menghapuskan dosa-dosa seseorang dan membebaskannya dari siklus hidup dan mati.
Cara Afghanistan Atasi Virus
Gejolak politik internal tentu akan membuat pelayanan publik terabaikan. Begitu dengan pelayanan kesehatan. Indonesia saja yang nyaris tanpa ada gejolak di tingkat elite, eksekutif maupun legislatif, kelimpungan saat menghadapi pandemi.
Bahkan Wakil Presiden Maruf Amin pernah menyebut Indonesia pontang panting.
Di negeri tetangga Malaysia, gejolak politik yang tanpa senjataâ juga telah membuat negeri tersebut kepayahan.
Kasus harian di Malaysia per Sabtu (21/8) mencapai 22 ribu kasus baru dengan total kasus terkonfirmasi positif mencapai 1,5 juta kasus. Cukup besar untuk negara yang berpenduduk hanya 30 juta orang.
Lalu bagaimana dengan Afghanistan?
Sudah barang tentu nasib tak jauh beda dengan Indonesia dan Malaysia. Bahkan bisa lebih buruk karena gejolak yang terjadi mengubah kepemimpinan negeri tersebut.
Afghanistan tentu tidak bisa mengandalkan Amerika Serikat yang sudah menarik pasukannya. Kini mereka bergantung pada dua negara rekan baruâ, Rusia dan China.
China terbilang berpengalaman dalam mengatasi virus yang kali pertama menyebar di wilayahnya itu. Di mana kini, negeri Tirai Bambu bukan lagi menjadi lumbung penyumbang virus corona.
Sementara Rusia bisa memamerkan vaksin Sputnik V yang diklaim memiliki efikasi hingga 97,8 persen.
Bagi kedua negara tersebut, menolong Afghanistan adalah peluang untuk bisa menjadi mitra strategis yang berpengaruh selepas Amerika Serikat cabut. [red]
from RMOLBanten.com https://ift.tt/3miN1vc
via gqrds
0 Response to "Ancaman Nyata Afghanistan di Depan Mata, Bukan Taliban Tapi..."
Posting Komentar