Kolonialisme Sampah

BANYAK yang tahu bahwa kolonialisme diawali lewat jalur perdagangan. Namun belum banyak yang tahu bahwa kolonialisme di masa kini juga masih ditempuh melalui jalur perdagangan namun dengan bentuk baru yaitu perdagangan sampah.

Runner-up

Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi dalam jumpa pers di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Jakarta, Selasa 25 Juni 2019 mengharapkan Presiden Joko Widodo harus segera menghentikan impor sampah karena sejak tahun 2015 Indonesia merupakan negara juara kedua alias runner-up pencemar laut dunia setelah China.

Ditambahkannya, ada 43 negara mengimpor sampahnya ke Jawa Timur, antara lain Amerika Serikat, Italia, Inggris, Korea Selatan, Australia, Singapura dan Kanada.

"Kenapa Indonesia? Karena kita kayak jadi destinasi kedua. (Sampah) dari Amerika, kita (negara tujuan) nomor dua setelah India. Dari Inggris, kita nomor dua setelah Malaysia. Kalau dari Australia, kita nomor dua setelah Vietnam," kata Prigi.

Pedang Nasional


Melalui video telekonferensi, pendiri Bali Fokus Yuyun Ismawati menjelaskan sejak akhir 2017, China menerapkan kebijakan baru untuk memperketat impor sampah plastik yang dikenal dengan sebagai kebijakan "Pedang Nasional".
Hal ini membuat perdagangan sampah, khususnya, sampah plastik, di seluruh dunia menjadi terguncang. Padahal selama 1988-2016, China menyerap sekitar 45,1 persen sampah plastik dunia.

Tahun lalu saja ada 410 ribu ton sampah plastik masuk ke Indonesia. Meskipun Indonesia mengaku hanya menerima sampah plastik sebesar 324 ribu ton.

"Jumlah sampah plastik yang diimpor ke Indonesia 2018 jumlahnya meningkat pesat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Ini adalah efek dari Cina, Malaysia, Filipina, Vietnam, tutup pintu juga (terhadap impor) sampah plastik," ujar Yuyun.

Studi Bank Dunia mendapati komposisi sampah pada laut di Indonesia terdiri dari 21 persen popok sekali pakai, 16 persen tas plastik kresek, 5 persen bungkus plastik, 4 persen kaca dan logam, 1 persen botol plastik, 9 persen plastik lainnya, dan 44 persen sampah organik.

Heran


Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati mengaku sangat heran karena menangani sampah hasil domestik saja Indonesia belum bisa mampu, namun sudah nekad mengimpor sampah dari negara lain. Dia juga menyoroti rumitnya peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sampah.

Nur tidak yakin aparat berwenang memahami peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sampah, termasuk sampah impor.

Dia menegaskan pencemaran atau kerusakan lingkungan bukan delik aduan. Sebab itu, kalau terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan, polisi harus mengusut tuntas tanpa menunggu aduan dari masyarakat atau pihak tertentu.

Nur mendesak pemerintah untuk segera memperketat regulasi mengenai pengelolaan sampah, termasuk sampah impor; juga memperbaiki pengelolaan sampah sehingga dapat diolah kembali secara ekonomis. Pemerintah daerah dan pusat, ujarnya, harus segera mengeluarkan aturan untuk menghentikan produksi plastik kemasan sekali pakai.

Lingkungan Hidup


Kasus kolonialisme sampah yang sedang melanda persada Nusantara abad XXI merupakan bukti bahwa kolonialisme melalui jalur perdagangan memang hanya bisa berhasil apabila ada warga negara korban kolonialisme berkenan berdagang dengan kaum kolonialisme.

Maka selama ada warga Indonesia bersemangat menjadi importir sampah, dapat diyakini bahwa kolonialisme sampah akan berjaya merajalela di persada Nusantara nan indah permai ini.

Syahwat bisnis memang sulit dikendalikan selama yang dikejar adalah profit tanpa peduli dampak buruk terhadap lingkungan hidup yang serta merta dengan sendirinya juga pasti berdampak buruk terhadap manusia. [***]

Penulis adalah rakyat Indonesia yang menguatirkan dampak buruk kolonialisme sampah terhadap alam dan rakyat Indonesia.


from RMOLBanten.com https://ift.tt/2ZWys1M
via gqrds

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kolonialisme Sampah"

Posting Komentar