Kemanusiaan Versus Pragmatisme

DALAM diskursus tentang penggusuran rakyat atas nama pembangunan kerap muncul anggapan bahwa kemanusiaan merupakan penghambat pembangunan.

Para pendukung penggusuran menegaskan bahwa rakyat miskin adalah sampah masyarakat yang wajib digusur demi pembangunan menuju masa depan yang lebih baik meski tidak jelas lebih baik bagi siapa.

Pada hakikatnya mereka yang tidak setuju penggusuran rakyat harus rela terstigma anti pembangunan serta gagal paham makna pragmatisme.

Bermanfaat Secara Pragmatis

Pragmatisme berasal dari kata Yunani: pragmatikosyang berarti cakap dalam bidang praktek. Pragmatisme adalah aliranfilsafatdipelopori William James dan John Dewey yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada fakta akibat-akibat atau hasil yang bermanfaat secara praktis.

Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan terhadap individu-individu.

Dasar dari pragmatisme adalahlogikapengamatan, di mana apa yang ditampilkan padamanusiadalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain.

Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja. Representasi realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta-fakta umum.

Suatu gagasan menjadi benar ketika memiliki fungsi manfaat . Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifatmetafisikal sebagaimana yang dilakukan para pemikir kemanusiaan.

Fungsi

Teori klasik tentang kebenaran mengenal dua posisi yang berbeda, yakni teori korespondensidanteori koherensi.

Teori korespondensi menekankan persesuaian antara si pengamat dengan apa yang diamati sehingga kebenaran yang ditemukan adalah kebenaranempiris, sedangkan teori koherensi menekankan pada peneguhan terhadap ide-idea prioriatau kebenaran logis, yakni jika proposisi-proposisi yang diajukan koheren satu sama lain.

Selain itu, dikenal lagi satu posisi lain yang berbeda dengan dua posisi sebelumnya, yakni teori pragmatis. Teori pragmatis menegaskan bahwa apa yang benar adalah apa yang berfungsi .

Semisal sebuahmobildengan segala kerumitan mesin yang membuatnya bekerja. Namun yang sesungguhnya menjadi dasar manfaat nyata adalah jika mobil itu terbukti dapat bekerja atau berfungsi dengan baik.

Manusia

Pragmatisme terkesan meyakinkan. Namun contoh dengan permisalan mobil an sich terasa kurang senonoh sebab mobil bukan manusia.

Mobil tidak punya nyawa, tidak punya perasaan, tidak perlu cari nafkah sebab tidak punya kebutuhan sandang-pangan-papan untuk diri sendiri dan keluarga seperti rakyat miskin yang seyogianya kurang layak digusar-gusur atas nama pembangunan atau apa pun alasannya.

Namun penderitaan rakyat tergusur memang hanya bisa nyata dirasakan oleh mereka yang tergusur seperti Joko Widodo di masa kanak-kanak. Terkesan bahwa kemanusiaan lebih merupakan impian seorang pemimpi ketimbang keyakinan seorang penggusur yang realistis konsekuen menganut paham pragmatisme maka lebih mengedepankan das Sein ketimbang das Sollen.

Kemanusiaan

Bagi seorang penganut paham pragmatisme sejati, Pancasila mengandung nilai-nilai yang manfaatnya tidak langsung sertamerta terasa. Apa yang disebut sebagai nilai memang lebih abstrak ketimbang kenyataan yang bisa diukur alias accountable dalam praktek neraca rugi-laba.

Maka Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial Untuk Seluruh Rakyat Indonesia rawan dianggap utopis akibat lebih merupakan das Sollen alias cita-cita ketimbang das Sein alias kenyataan.

Para kaum pragmatis tanpa ragu siap mengorbankan kepentingan rakyat miskin demi pembangunan infra struktur yang seharusnya bukan menyengsarakan namun menyejahterakan rakyat!

Kaum pragmatis tanpa berkedip siap mengorbankan The Small Picture demi The Big Picture!

Tujuan menghalalkan proses!

Pragmatisme jelas kurang selaras dengan semangat kerakyatan Jenderal Besar Soedirman yang senantiasa wanti-wanti berpesan ke para prajurit Tentara Nasional Indonesia untuk selalu siap mengorbankan diri sendiri masing masing namun jangan sekali-kali tega mengorbankan rakyat dalam perjuangan melawan kaum penjajah yang memang tidak merelakan Indonesia merdeka. [***]

Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan.


from RMOLBanten.com https://ift.tt/2xA7yke
via gqrds

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kemanusiaan Versus Pragmatisme"

Posting Komentar