Hindari Nasdem Beroposisi, Presiden Perlu Ajak "Ngobrol" Surya Paloh
SIKAP politik Nasdem yang membuka peluang menjadi partai oposisi bisa dibaca pada dua kemungkinan. Pertama, sebagai gertakan politik. Kedua, sebagai kesungguhan politik.
Pernyataan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (SP) terkait kemungkinan partainya akan berperan sebagai oposisi bisa saja dianggap sebagai sebuah siasat dari partai itu untuk merealisasikan kehendak-kehendak politiknya.
Di dalam praktik politik, salah satu siasat yang lazim digunakan parpol adalah melakukan gertakan politik. Lewat teknik ini partai berharap dapat menaikan posisi tawarnya sehingga kepentingan-kepentingan politiknya dapat diakomodir.
Jadi, kalau mau dimajukan sebagai probabilitas, bisa saja pernyataan SP itu dianggap sebagai gertakan politik kepada Presiden karena mungkin juga ada target politik yang sedang disasar Nasdem. Misalnya, jabatan di pemerintahan.
Sekalipun jabatan menteri sudah penuh, masih ada sejumlah jabatan lain di lingkungan pemerintah yang bisa diincar. Sebut saja jabatan Dewan Pertimbangan Presiden, Staf Khusus Presiden, pimpinan lembaga non-kementerian, bahkan jabatan wakil menteri yang mungkin saja kelak akan ditambah oleh Presiden.
Pertanyaannya, apakah untuk mengincar jabatan-jabatan itu Nasdem sampai perlu menggertak Presiden dengan membuka opsi menjadi oposisi? Saya kok tidak terlalu yakin dengan itu.
Oleh sebab itu perlu juga dibuka kemungkinan yang lain. Bisa saja pernyataan SP tersebut merupakan sebuah rencana politik yang pada waktunya sungguh-sungguh akan dilakukan Nasdem.
Setidaknya ada tiga gejala politik yang bisa dibaca sebagai indikasi bahwa Nasdem memiliki kesungguhan politik menjadi partai oposisi. Pertama, dilihat dari intensitas pernyatannya. Kedua, ditilik dari waktu pernyataannya. Ketiga, ditinjau dari tempat pernyataan itu disampaikan.
Kalau kita ikuti pernyataan SP selama ini, bukan baru sekali dia menyuarakan opsi oposisi secara terbuka. Selain disampaikan secara berulang-ulang, diksi yang digunakan SP dari waktu ke waktu juga semakin tegas.
Coba perhatikan kalimat SP usai bertemu dengan petinggi PKS kemarin (30/10/2019). Disitu Pak Surya sudah berani mengatakan secara lugas tentang kemungkinan Partai Nasdem untuk berhadapan dengan pemerintah.
Kata "berhadapan" itu tiada lain maknanya kecuali terkait dengan urusan tentang-menentang atau melawan. Jadi, Nasdem ini sepertinya sudah memikirkan masak-masak dan tampak sungguh-sungguh dengan rencananya menjadi partai penentang pemerintah.
Kemudian kalau kita lihat dari sisi waktunya, pernyataan SP terakhir di Kantor PKS pada tingkat tertentu sebetulnya telah mematahkan dugaan bahwa Nasdem sedang berusaha menekan Presiden.
Kalau pernyataan itu disampaikan sebelum Presiden membentuk kabinet, masih masuk akal untuk menduga pernyataan soal oposisi itu digunakan Nasdem sebagai cara untuk menekan Presiden agar kadernya dapat menduduki lebih banyak kursi di kabinet.
Tetapi setelah Kabinet Indonesia Maju terbentuk dan Nasdem sendiri telah mendapatkan jatah tiga jabatan menteri, maka agak sulit memahami jika pernyataan itu tetap dikualifikasi sebagai sebuah gertakan politik.
Kalau bermaksud menekan Presiden untuk jabatan yang lain, pernyataan itu terbilang 'over dosis'. Sebab, Nasdem pasti tahu betul risiko yang harus ditanggung jika mereka bermain-main dengan opsi oposisi demi jabatan yang tidak terlalu strategis.
Jadi, ketika opsi untuk beroposisi itu konsisten disuarakan setelah Nasdem mendapatkan jatah menteri, maka hal ini menunjukan ada gelagat yang serius dari Nasdem untuk berada di luar pemerintahan.
Belum pernah ada sejarahnya parpol yang sudah diberikan jatah menteri dalam jumlah yang signifikan mengeluarkan pernyataan semacam itu di awal pembentukan kabinet. Ini baru pertama kali terjadi. Kalau ancaman itu disampaikan di akhir periode pemerintahan atau menjelang pemilu, ada banyak sekali contohnya.
Selain dari pada itu, dugaan bahwa Nasdem memiliki kesungguhan politik untuk beroposisi semakin menguat ketika SP mengulangi pernyataannya di kantor parpol yang telah bertekad bulat menjadi oposisi, yaitu PKS.
Dengan menyampaikan kembali pernyataannya di kantor partai oposisi, SP seperti ingin memberi pesan kepada Presiden bahwa partainya tidak ragu untuk mengambil pilihan politik yang sama dengan PKS.
Ringkasnya, kalau Presiden merasa tidak senang dengan pernyataan Nasdem, SP seolahi ingin berkata: silahkan pecat menteri dari Nasdem kapan pun Bapak mau, karena kami siap setiap saat menjadi partai penentang pemerintah.
Jadi, menurut saya pernyataan SP itu tidak bisa lagi dianggap main-main atau dianggap sepele oleh Presiden. Agar opsi itu jangan sampai menyulitkan pemerintahan Jokowi-Maruf, ada baiknya Presiden segera mengagendakan pertemuan dengan Surya Paloh guna mengetahui secara pasti apa yang sesungguhnya diharapkan Nasdem dari pemerintah. [***]
Said Salahudin
Penulis adalah pemerhati politik dan kenegaraan, Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma).
from RMOLBanten.com https://ift.tt/333Hw6W
via gqrds
Pernyataan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (SP) terkait kemungkinan partainya akan berperan sebagai oposisi bisa saja dianggap sebagai sebuah siasat dari partai itu untuk merealisasikan kehendak-kehendak politiknya.
Di dalam praktik politik, salah satu siasat yang lazim digunakan parpol adalah melakukan gertakan politik. Lewat teknik ini partai berharap dapat menaikan posisi tawarnya sehingga kepentingan-kepentingan politiknya dapat diakomodir.
Jadi, kalau mau dimajukan sebagai probabilitas, bisa saja pernyataan SP itu dianggap sebagai gertakan politik kepada Presiden karena mungkin juga ada target politik yang sedang disasar Nasdem. Misalnya, jabatan di pemerintahan.
Sekalipun jabatan menteri sudah penuh, masih ada sejumlah jabatan lain di lingkungan pemerintah yang bisa diincar. Sebut saja jabatan Dewan Pertimbangan Presiden, Staf Khusus Presiden, pimpinan lembaga non-kementerian, bahkan jabatan wakil menteri yang mungkin saja kelak akan ditambah oleh Presiden.
Pertanyaannya, apakah untuk mengincar jabatan-jabatan itu Nasdem sampai perlu menggertak Presiden dengan membuka opsi menjadi oposisi? Saya kok tidak terlalu yakin dengan itu.
Oleh sebab itu perlu juga dibuka kemungkinan yang lain. Bisa saja pernyataan SP tersebut merupakan sebuah rencana politik yang pada waktunya sungguh-sungguh akan dilakukan Nasdem.
Setidaknya ada tiga gejala politik yang bisa dibaca sebagai indikasi bahwa Nasdem memiliki kesungguhan politik menjadi partai oposisi. Pertama, dilihat dari intensitas pernyatannya. Kedua, ditilik dari waktu pernyataannya. Ketiga, ditinjau dari tempat pernyataan itu disampaikan.
Kalau kita ikuti pernyataan SP selama ini, bukan baru sekali dia menyuarakan opsi oposisi secara terbuka. Selain disampaikan secara berulang-ulang, diksi yang digunakan SP dari waktu ke waktu juga semakin tegas.
Coba perhatikan kalimat SP usai bertemu dengan petinggi PKS kemarin (30/10/2019). Disitu Pak Surya sudah berani mengatakan secara lugas tentang kemungkinan Partai Nasdem untuk berhadapan dengan pemerintah.
Kata "berhadapan" itu tiada lain maknanya kecuali terkait dengan urusan tentang-menentang atau melawan. Jadi, Nasdem ini sepertinya sudah memikirkan masak-masak dan tampak sungguh-sungguh dengan rencananya menjadi partai penentang pemerintah.
Kemudian kalau kita lihat dari sisi waktunya, pernyataan SP terakhir di Kantor PKS pada tingkat tertentu sebetulnya telah mematahkan dugaan bahwa Nasdem sedang berusaha menekan Presiden.
Kalau pernyataan itu disampaikan sebelum Presiden membentuk kabinet, masih masuk akal untuk menduga pernyataan soal oposisi itu digunakan Nasdem sebagai cara untuk menekan Presiden agar kadernya dapat menduduki lebih banyak kursi di kabinet.
Tetapi setelah Kabinet Indonesia Maju terbentuk dan Nasdem sendiri telah mendapatkan jatah tiga jabatan menteri, maka agak sulit memahami jika pernyataan itu tetap dikualifikasi sebagai sebuah gertakan politik.
Kalau bermaksud menekan Presiden untuk jabatan yang lain, pernyataan itu terbilang 'over dosis'. Sebab, Nasdem pasti tahu betul risiko yang harus ditanggung jika mereka bermain-main dengan opsi oposisi demi jabatan yang tidak terlalu strategis.
Jadi, ketika opsi untuk beroposisi itu konsisten disuarakan setelah Nasdem mendapatkan jatah menteri, maka hal ini menunjukan ada gelagat yang serius dari Nasdem untuk berada di luar pemerintahan.
Belum pernah ada sejarahnya parpol yang sudah diberikan jatah menteri dalam jumlah yang signifikan mengeluarkan pernyataan semacam itu di awal pembentukan kabinet. Ini baru pertama kali terjadi. Kalau ancaman itu disampaikan di akhir periode pemerintahan atau menjelang pemilu, ada banyak sekali contohnya.
Selain dari pada itu, dugaan bahwa Nasdem memiliki kesungguhan politik untuk beroposisi semakin menguat ketika SP mengulangi pernyataannya di kantor parpol yang telah bertekad bulat menjadi oposisi, yaitu PKS.
Dengan menyampaikan kembali pernyataannya di kantor partai oposisi, SP seperti ingin memberi pesan kepada Presiden bahwa partainya tidak ragu untuk mengambil pilihan politik yang sama dengan PKS.
Ringkasnya, kalau Presiden merasa tidak senang dengan pernyataan Nasdem, SP seolahi ingin berkata: silahkan pecat menteri dari Nasdem kapan pun Bapak mau, karena kami siap setiap saat menjadi partai penentang pemerintah.
Jadi, menurut saya pernyataan SP itu tidak bisa lagi dianggap main-main atau dianggap sepele oleh Presiden. Agar opsi itu jangan sampai menyulitkan pemerintahan Jokowi-Maruf, ada baiknya Presiden segera mengagendakan pertemuan dengan Surya Paloh guna mengetahui secara pasti apa yang sesungguhnya diharapkan Nasdem dari pemerintah. [***]
Said Salahudin
Penulis adalah pemerhati politik dan kenegaraan, Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma).
from RMOLBanten.com https://ift.tt/333Hw6W
via gqrds
0 Response to "Hindari Nasdem Beroposisi, Presiden Perlu Ajak "Ngobrol" Surya Paloh"
Posting Komentar