Pangkalan Militer Asing

RMOLBANTEN Hari ini media ramai memberitakan kunjungan Menlu Amerika Serikat, Mike Pompeo, ke Jakarta. Mr Pompeo bertemu Presiden Joko Widodo, Menlu Retno Marsudi, dll.

Belum sebulan yang lalu Menhan Indonesia Prabowo Subianto berkunjung ke AS bertemu Menhan AS. Rangkaian kunjungan petinggi kedua negara itu tentulah amat penting sehingga mendapat tempat di media internasional. Umumnya dalam kerangka ketegangan AS-China, khususnya lagi ketegangan di Laut China Selatan (LCS).

Saya mencoba mengingat-ingat kembali apa yang dulu saya dengar atau ketahui yang berkaitan dengan isu di atas. Mungkin ada mantan pejabat lain yang bisa melengkapinya.

Kehidupan di LCS yang meliputi kegiatan maritim atau arus lalu lintas laut kapal-kapal perdagangan internasional, dan ZEE yang sudah lama tertata dan relatif berjalan tenang atas dasar Konvensi Unclos 1982, akhir-akhir ini menjadi ketegangan internasional karena kehadiran China yang mengklaim sepihak dan tidak mau tunduk pada kesepakatan internasional sesuai Unclos 1982 itu.

Negara-negara ASEAN termasuk Indonesia dibikin repot oleh ulah ambisius China. Amerika Serikat yang selama ini menjaga stabilitas di LCS dengan kekuatan militer minimal, kini harus mengerahkan lebih banyak lagi kekuatan militernya untuk mengimbangi kekuatan militer China.

Ketegangan tidak terelakkan. Amerika Serikat dan negara-negara ASEAN tampaknya sependapat bahwa aturan yang sudah berlaku di LCS itu tidak boleh diubah, dan LCS tidak boleh dikuasai sepihak oleh China. Sekali perubahan terjadi, bukan saja merugikan negara-negara ASEAN tapi juga perdagangan internasional.

Lebih dari itu, negara-negara ASEAN akan kehilangan hak-hak atau klaimnya selama ini atas LCS, dan bukan tidak mungkin akan menjadi kerugian permanen. Karena itu Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya menolak tegas klaim China atas 90% LCS.

Seingat saya, semasa Presiden Soeharto, ancaman China ini sudah dirasakan atau sekurang-kurangnya sudah terdeteksi. Tapi saat itu China belum sekuat sekarang.

Dengan cerdasnya Pemerintah Orba saat itu mengundang (perusahaan) Amerika Serikat untuk mengeksplorasi gas alam yang ada di (perairan) Natuna yang merupakan wilayah terluar Indonesia, yang saat itu mulai diklaim oleh China.

Meski cadangan gas alam di Natuna luar biasa besarnya, awalnya tidak ada perusahaan Migas yang berani (karena potensi gangguan oleh China), apalagi bila harus mengikuti pola bagi hasil yang berlaku seperti 65-35 atau 85-15.

Tetapi Indonesia diam-diam memastikan bahwa harus perusahaan Amerika Serikat agar mampu menjaga keamanannya dari ancaman, gangguan, atau klaim China. Tetapi gangguan lain masih ada yaitu faktor kecepatan.

Indonesia amat menginginkan agar segera ada perusahaan besar Amerika Serikat yang bersedia membuat perjanjian dengan pihak Indonesia untuk mengeksplorasi gas di Natuna yang saat itu masih betul-betul remote dan belum ada apa-apanya seperti sekarang ini. Belum ada Pemdanya.

Yang penting, bila ada perusahaan besar migas Amerika Serikat yang bersedia masuk untuk investasi di Natuna, berarti kedaulatan Indonesia atas Natuna diakui internasional. Maka diputuskanlah mencari perusahaan Amerika Serikat yang bersedia segera masuk ke Natuna mengeksploitasi gas alamnya, dan negara tidak mengambil bagiannya.

Kalau tidak salah, ExxonMobil terpilih pada tahun 1980. Tentu kontrak spesial itu ada jangka waktunya. Negara mendapatkan hak pajak lainnya dan keuntungan lainnya terutama keuntungan politis dan keamanan, yaitu Amerika Serikat ikut menjaga keamanan wilayah Indonesia tanpa pangkalan resmi militer Amerika di wilayah Indonesia.

Hanya Armadanya saja yang aktif lalu lalang untuk kepentingan keamanan bersama dengan negara-negara ASEAN.

Memanasnya situasi keamanan di Laut China Selatan beberapa tahun terakhir ini tampaknya akan mengubah peta politik. Lebih-lebih setelah China lebih memilih menancapkan kekuatan nyata militernya di LCS daripada membawa kasus atau dispute-nya ke perundingan atau mahkamah internasional.

Amerika Serikat �"satu satunya negara yang mampu mengimbangi ancaman kekuatan China�" sibuk mengadakan komunikasi intensif dengan negara-negara ASEAN. Indonesia tentu bagian terpenting dari ASEAN. Makanya Menhan RI berkunjung ke Washington DC. Disusul dengan kenjungan Menlu Amerika Serikat ke Jakarta.

Pertemuan petinggi kedua negara ini tampaknya cukup produktif. Indonesia menegaskan sikapnya yang menolak klaim China. Negara ASEAN lainnya juga menolak klaim ambisius China atas LCS.

Muncul isu perlunya pangkalan militer Amerika Serikat di ASEAN terutama di Indonesia sebagai negara terbesar yang paling terganggu dan paling dirugikan dengan klaim China itu. Isu yang biasanya sensitif.

Pada prinsipnya Indonesia dan negara-negara ASEAN tidak menginginkan adanya pangkalan militer asing. Tapi kerja sama pertahanan adalah hal yang biasa. Termasuk latihan militer bersama, pertukaran training dan kerja sama pembuatan senjata.

Tapi perubahan situasi politik internasional yang terjadi akhir-akhir ini tentulah harus disikapi sesuai atau terukur seperti dulu Pak Harto mengamankan Natuna dari klaim China.

Bedanya, sekarang militer China sudah amat kuat. Dan jujur saja, ASEAN tidak mampu menghadapinya. Tentulah semua kebijakan harus diukur dari kepentingan nasional dan ASEAN. Bila keadaan atau ancaman yang dihadapi sudah di luar kemampuan kita, pangkalan militer asing bukanlah hal yang tabu.

Bisa saja dimulai dulu dari atau bisa jadi sudah memadai dengan hanya menyediakan wilayah untuk galangan perbaikan dan perawatan kapal kapal perang Amerika Serikat. Atau ASEAN yang menyediakan lahannya.

Ataupun bila ada pangkalan militer tentulah dengan jangka waktu tertentu. Yang manapun secara ekonomi tentu bagus bagi Indonesia. Tapi yang terpenting adalah demi keamanan Indonesia.

Politik memang dinamis dan bergerak cepat. Makanya para pengambil keputusan juga harus cepat bergerak sebab ancaman yang dihadapi memang serius. [dzk]

Fuad Bawazier


from RMOLBanten.com https://ift.tt/31VWMV5
via gqrds

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pangkalan Militer Asing"

Posting Komentar