Membangun Collaborative Governance di Era Pandemi
Oleh : Dr. Bambang Pujiyono, Dosen FISIP Universitas Budi Luhur Jakarta
Kolaborasi menjadi trending di era pandemic Covid-19. Kolaborasi menjadi obat mujarab seolah datang dari dewa langit untuk menyembuhkan berbagai persoalan yang rumit. Disadari atau tidak, semua berkepentingan mempraktikan konsep kolaborasi untuk urusan sepele sampai dengan urusan bertele-tele. Kolaborasi diakronimkan colab, terdengar familiar dan memiliki power, ketika digunakan untuk kerjasama, koordinasi, komukasi, sinergi dan seterusnya.
Istilah colab menjadi semakin mengemuka ketika para influencer menggunakan kata tersebut untuk mengajak mitranya bersimbiose mutulisma. Proses efisien, hasil efektif terwujud. Keberhasilan menginspirasi semua kalangan, sehingga menjadi wajib untuk mencoba berkolaborasi.
Kolaborasi pun menjadi konsep yang sanggup melintasi berbagai sector baik vertical, horizontal, dan diagonal. Kolaborasi menjadi familiar dan diterima sebagai konsep yang mudah dipraktikan dan jelas hasilnya.
Ketika, kolaborasi fenomenal menempel dalam system social, lantas apa yang mesti dilakukan untuk membangun potensi-potensi individu, kelompok, lembaga sehingga berkontribusi dalam pengelolaan Negara tercinta ini ? pertanyaan ini menjadi relevan, mengingat Negara tercinta ini tengah dirudung persoalan yang kompleks dan mustahil pemerintah sendirian memberikan solusinya.
Esensi Collaborative Governance
Dalam ranah ilmu administrasi public, collaborative governance dapat dilihat sebagai suatu bagian pengembangan dari paradigma New Public Management menuju New Public Governance. Pergeseran ini terjadi pada masyarakat atau lingkungan social kontemporer terkait dengan isu-isu global seperti reformasi administrasi, inovasi, perubahan public values..
Ansell dan Gash (2008) mendefinisikan Collaborative Governance sebagai berikut: “Sebuah pengaturan satu atau lebih lembaga publik secara langsung melibatkan para stakeholder non-negara dalam proses pengambilan keputusan kolektif yang bersifat formal, berorientasi konsensus dan pendelegasian wewenang dan bahwa tujuan untuk membuat atau menerapkan kebijakan publik atau mengelola program publik atau aset “.
Dalam perspektif teori organisasi, konsep kolaborasi atau relasi antar organisasi dapat dilacak dari pendekatan interorganizational theory. Teori ini memfokuskan kajian pada interdependensi antar organisasi dan strategi yang dipilih oleh organisasi dalam relasi tersebut. Keterlibatan stakeholder dalam kolaborasi ini berupa jaringan kerja. Pada dimensi proses, interaksi interorganisasi merupakan tempat sumber daya dipertukarkan.
Keputusan yang diambil berdasarkan hasil negosiasi antar organisasi. Tujuan yang dicapai berupa keberlanjutan aliran sumber daya yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Tidak ada pemusatan otoritas, power tergantung kepada kebutuhan sumber daya. Informasi merupakan power sumber daya dimiliki oleh aktor yang berbeda dalam kerjasama antar organisasi.
Secara konseptual collaborative governance terkonstruksi oleh kelembagaan, jaringan kerja, organisasi social. Organisasi merupakan bagian dari jaringan kerja yang melibatkan banyak stakeholder untuk mewujudkan tujuan kolektif. Interaksi antar organisasi merupakan proses terjadinya pertukaran sumber daya antar organisasi.
Secara rasional keputusan yang dilahirkan juga merupakan hasil negosiasi antar organisasi yang mengedepakan keberlanjutan relasional. Dalam situasi kolaborasi memerlukan keseimbangan power untuk menghindari pemusatan otoritas. Nilai yang diacu dalam kolaborasi berupa keberagaman sumber daya tiap organisasi akan menciptakan saling ketergantungan antar organisasi dalam mencapai tujuan kolektif.
Kompleksitas Persoalan
Era pandemic covid 19 menerpa hampir setahun. Serangan covid 19 meluluhlantakkan aktivitas perekonomian dari hulu sampai hilir. Aktivitas perekonomian kehilangan hampir seluruh denyut nadinya. Konsekuensinya pemerintah berfikir dan berjuang keras untuk mencari solusi terbaiknya. Berbagai formula dan simulasi untuk tetap mengamankan perekonomian dari serangan covid dilakukan, tetapi covid 19 tetap digdaya dampaknya bagi kehidupan masayarakat, bangsa, dan Negara.
Di saat upaya bertahan dari serangan covid 19, problema public muncul seperti bencana alam banjir, gempa, tanah longsor dan lainnya seakan menambah jumlah deretan persoalan public yang dihadapi oleh pemerintah. Dalam kondisi yang seperti saat ini, mustahil pemerintah bisa memecahkan sendiri.
Merujuk konsep kolaborative Governance di atas, sudah saatnya pemerintah bersama swasta dan masyarakat melaksanakannya. pemerintah, swasta, dan masyarakat berkolaborasi memiliki irisan fungsi yang sama untuk menyelesaikan masalah public yang kompleks ini.
Upaya menyelesaikan persoalan ini perlu komitmen, perlu kepercayaan antar komponen, perlu SOP yang jelas, perlu target, serta saling ketergantungan. Tanpa terpenuhinya dimensi ini tentu sangat sulit dan berat untuk mengatasi problema public yang kompleks.
Gambaran yang sarkastis mengibaratkan Negara ini berada di pinggir jurang. Seakan pemerintah tidak sanggup mengatasi problem yang mendera sehingga Negara diambang kehancuran (failed state). Tanpa mengecilkan upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah, kenaikan jumlah pengangguran, jumlah orang miskin, jumlah angka kematian, menjadi bukti yang kasab mata.
Membangun Kolaborasi
Memecahkan persoalan public menggunakan pendekatan kolaborasi governance sangat urgen dan pilihan yang rasiional. Persoalan public di era pandemic begitu kompleks. Ibarat penyakit, penyebuhan begitu sulit karena komplikasi; obat yang ditawarkan memiliki resistensi terhadap penyakit lain yang ada.
Kompleksitas problem public ini disadari betul oleh seluruh komponen masyarakat. Pemerintah, swasta, dan komunitas memiliki keinginan bersama untuk segera dapat menyelesaikan persoalan ini.
Dalam konteks masyarakat sudah berpengetahuan positif tentang kolaborasi, pemerintah, swasta, dan komunitas sudah melakukan kemitraan, selanjutnya mudah untuk membangun collaborative governance sebagai bentuk sinergisitas level paling tinggi. Beberapa hal yang segera dilaksanakan diantaranya : pertama, kolaborasi dapat melibatkan kerja sama untuk membangun kesamaan, meningkatkan konsistensi, dan menyelaraskan kegiatan antar aktor. Kedua, kolaborasi bisa menjadi proses negosiasi, yang melibatkan kesiapan untuk berkompromi dan melakukan pertukaran.
Ketiga, kolaborasi dapat melibatkan peran pengawasan, pengecekan, penyatuan, dan koordinasi pusat. Keempat, kolaborasi dapat melibatkan kekuatan dan paksaan, kemampuan untuk memaksakan hasil atau memaksakan preferensi sendiri pada orang lain, sampai batas tertentu, dengan kepatuhan atau keterlibatan mereka. Kelima, kolaborasi dapat melibatkan komitmen dan niat masa depan, perilaku prospektif, perencanaan atau persiapan untuk menyelaraskan kegiatan.
Keenam, kolaborasi dapat melibatkan pengembangan motivasi internal dan komitmen pribadi untuk program, keputusan, tujuan organisasi atau tujuan strategis. Aspek yang berbeda dari hubungan kolaboratif dapat menjadi jelas atau berperan dalam berbagai contoh kolaborasi nyata. Pihak yang berbeda juga dapat melihat proses kolaboratif dengan pandangan yang bertentangan secara diametris.
Semoga dengan pendekatan collaborative governance, relasi pemerintah, swasta, dan masyarakat menjadi semakin kuat, sehingga dapat memecahkan persoalan public yang kompleks di era pandemic covid 19 dan terpaan bencana yang tengah dihadapi bangsa ini. Mari kita optimis, kita dukung dan wujudkan Collaborative Governance.
(***)
The post Membangun Collaborative Governance di Era Pandemi first appeared on BantenNews.co.id.
0 Response to "Membangun Collaborative Governance di Era Pandemi"
Posting Komentar