Ini Perbedaan Kasus Korupsi Dana Hibah Jaman WH Dengan Atut
RMOLBANTEN Kasus korupsi dana hibah bukan hanya terjadi di era kepemimpinan Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) melainkan telah terjadi sejak di era kepemimpinan mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah (Atut).
Demikian disampaikan kuasa hukum Pemerintah Provinsi Banten Asep Abdullah Busro, di Kota Serang, Sabtu (1/5).
Kata Asep pada tahun anggaran 2011 dengan penyelewengan hibah dengan nilai korupsi mencapai Rp 7,65 miliar.
Asep mengakui, saat itu dirinya dipercaya menjadi Lawyer kuasa hukum orang dekat Atut sekaligus Kepala Pendapatan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKAD) yakni Zaenal Muttaqin yang divonis 7 tahun kurungan penjara oleh pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Serang.
"Saya pernah menangani perkara hibah dulu jamannya pak Zainal Muttaqin, saya Lawyernya. Jadi, kalau masalah hibah saya sudah khatam dua kali," ujar Asep.
Diurai Asep, tipologi kasus korupsi hibah di masa Atut dan WH jelas berbeda, masa Atut syarat kepentingan politis karena aktor kakapnya adalah Zaenal Muttaqin sudah vulgar memotong dana hibah, kemudian dana itu digunakan untuk kepentingan politik pemenangan Atut menjadi Gubernur Banten tahun 2012.
"Dan itu secara vulgar dibuka juga pemotongan yang dilakukan Zainal Muttaqin mencapai 90 persen dari 10 persen yang disisakan. Dan sudah ada putusan pengadilan," tegasnya.
Perbedaan lain, jelas Asep, kasus korupsi dulu karena banyak kelemahan didalam sistem pemerintahan antara lain sistem pengajuan permohonan dana hibah menggunakan manual.
Jadi, rentan masih bisa dikorupsi melibatkan biro Kesra untuk melakukan penyelahgunaan wewenang.
"Kalau dikomparasikan dengan sekarang sistim e-hibah melalui online, sistim ini meminimalisir potensi-potensi penyalahagunaan wewenang oleh biro kesra," terang Asep.
Jaman dulu, lanjut Asep, ada tim pendampingan untuk asistensi permohonan hibah, fasilitasi LKPj sehingga cela korupsi ditataran birokrasi terbuka lebar.
"Sementara untuk sekarang cleanship Pemprov bersifat objektif, independen, dan tidak berinteraksi dengan unsur lembaga pemohon hibah," katanya.
Tak cukup disitu, perbedaan lain kalau 2011 dulu kepala daerah, pimpinan daerah masih mau menandatangani naskah perjanjian hibah daerah (NPHD), mulai Gubernur, Wagub, hingga Sekda.
"Tapi kalau sekarang praktis pada periodisasi pak WH beliau tidak menandatangani dan yang menandatangani adalah kepala biro atau OPD teknis yang bertindak menandatangani NPHD,"ungkap Asep.
Asep menjelaskan, kasus pemotongan hibah di era WH dilakukan secara parsial oleh pihak swasta tidak ada pemotongan dilakukan oleh institusi pemprov karena dana data telah ditransfer ke Ponpes.
"Hanya oknum-oknum parsial saja yang memotong beberapa Ponpes. Jadi, tidak bisa digeneralisir seluruh lembaga Ponpes penerima dipotong" terangnya.
Terakhir, Asep memastikan bahwa dalam proses penyaluran dana hibah tahun anggaran 2020 Gubernur sudah ot the track dalam melaksanakan amanat UU pemberian hibah ini sesuai dengan prosedur mekanisme hukum yang berlaku.
Dasar hukum itu antara lain Peraturan teknis Pergub Banten Nomor 10 tahun 2019 dan mengacu pada Permendagri Nomor 2 tahun 2011 dan UU keuangan negara beserta UU Daerah.
"Jadi, tidak ada relevansi jika hal-hal aspek NPHD (naskah perjanjian hibah daerah) atau teknis dihubung-hubungkan pak Gubernur. Itu tidak berdasar," pungkasnya. [dzk]
from RMOLBanten.com https://ift.tt/3tcKCls
via gqrds
Demikian disampaikan kuasa hukum Pemerintah Provinsi Banten Asep Abdullah Busro, di Kota Serang, Sabtu (1/5).
Kata Asep pada tahun anggaran 2011 dengan penyelewengan hibah dengan nilai korupsi mencapai Rp 7,65 miliar.
Asep mengakui, saat itu dirinya dipercaya menjadi Lawyer kuasa hukum orang dekat Atut sekaligus Kepala Pendapatan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKAD) yakni Zaenal Muttaqin yang divonis 7 tahun kurungan penjara oleh pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Serang.
"Saya pernah menangani perkara hibah dulu jamannya pak Zainal Muttaqin, saya Lawyernya. Jadi, kalau masalah hibah saya sudah khatam dua kali," ujar Asep.
Diurai Asep, tipologi kasus korupsi hibah di masa Atut dan WH jelas berbeda, masa Atut syarat kepentingan politis karena aktor kakapnya adalah Zaenal Muttaqin sudah vulgar memotong dana hibah, kemudian dana itu digunakan untuk kepentingan politik pemenangan Atut menjadi Gubernur Banten tahun 2012.
"Dan itu secara vulgar dibuka juga pemotongan yang dilakukan Zainal Muttaqin mencapai 90 persen dari 10 persen yang disisakan. Dan sudah ada putusan pengadilan," tegasnya.
Perbedaan lain, jelas Asep, kasus korupsi dulu karena banyak kelemahan didalam sistem pemerintahan antara lain sistem pengajuan permohonan dana hibah menggunakan manual.
Jadi, rentan masih bisa dikorupsi melibatkan biro Kesra untuk melakukan penyelahgunaan wewenang.
"Kalau dikomparasikan dengan sekarang sistim e-hibah melalui online, sistim ini meminimalisir potensi-potensi penyalahagunaan wewenang oleh biro kesra," terang Asep.
Jaman dulu, lanjut Asep, ada tim pendampingan untuk asistensi permohonan hibah, fasilitasi LKPj sehingga cela korupsi ditataran birokrasi terbuka lebar.
"Sementara untuk sekarang cleanship Pemprov bersifat objektif, independen, dan tidak berinteraksi dengan unsur lembaga pemohon hibah," katanya.
Tak cukup disitu, perbedaan lain kalau 2011 dulu kepala daerah, pimpinan daerah masih mau menandatangani naskah perjanjian hibah daerah (NPHD), mulai Gubernur, Wagub, hingga Sekda.
"Tapi kalau sekarang praktis pada periodisasi pak WH beliau tidak menandatangani dan yang menandatangani adalah kepala biro atau OPD teknis yang bertindak menandatangani NPHD,"ungkap Asep.
Asep menjelaskan, kasus pemotongan hibah di era WH dilakukan secara parsial oleh pihak swasta tidak ada pemotongan dilakukan oleh institusi pemprov karena dana data telah ditransfer ke Ponpes.
"Hanya oknum-oknum parsial saja yang memotong beberapa Ponpes. Jadi, tidak bisa digeneralisir seluruh lembaga Ponpes penerima dipotong" terangnya.
Terakhir, Asep memastikan bahwa dalam proses penyaluran dana hibah tahun anggaran 2020 Gubernur sudah ot the track dalam melaksanakan amanat UU pemberian hibah ini sesuai dengan prosedur mekanisme hukum yang berlaku.
Dasar hukum itu antara lain Peraturan teknis Pergub Banten Nomor 10 tahun 2019 dan mengacu pada Permendagri Nomor 2 tahun 2011 dan UU keuangan negara beserta UU Daerah.
"Jadi, tidak ada relevansi jika hal-hal aspek NPHD (naskah perjanjian hibah daerah) atau teknis dihubung-hubungkan pak Gubernur. Itu tidak berdasar," pungkasnya. [dzk]
from RMOLBanten.com https://ift.tt/3tcKCls
via gqrds
0 Response to "Ini Perbedaan Kasus Korupsi Dana Hibah Jaman WH Dengan Atut"
Posting Komentar