Terorisme Dan Moderasi Beragama

MENGAWALI tulisan ini saya ingin sampaikan bahwa sebagai akademisi keislaman, saya mengutuk aksi bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral Makasar pada pukul 10.30 WITA, Minggu, 28 Maret 2021.

Bom yang disebut Kapolri sebagai bom panci ini ditengarai diledakkan oleh sepasang suami-istri sebagai "pengantin surga" -sebuah istilah untuk radikalis yang mau mengorbankan dirinya untuk meledakkan bom bunuh dir.

Pelaku yang ditemukan sebagai bagian dari sel jaringan Jamaah Anshorud Daulah (JAD) ini tentunya tidak sehari dua hari jadi. Maksudnya sepasang pengantin ini tentunya telah melalui tahapan rekruitmen anggota atau jamaah.

Tentu jaringn tersebut telah menyiapkan kelengkapan perjuangannya. Kelengkapan tersebut seperti persiapan doktrinasi dengan silabus yang berisi materi tertentu, metode tertentu, media dan sarana prasarana tertentu.

Seperti biasa, tentunya materi itu dikaitkan dengan ajaran Islam. Juga fakta yang terjadi sekarang memang dilakukan oleh sepasang suami-istri beragama Islam. Fakta ini sebagai alasan urgensi-nya saya untuk berkomentar. Fakta pengeboman ini sebagai item penyempurna dari pernyataan bahwa gerakan/harakah penanaman radikalisme atau faham radikal itu ril atau nyata adanya.

Menurut teori radikal perspektif Badan Negara Penanggulangan Terorisme (BNPT), bahwa seseorang disebut sebagai Radikalis (radikalisme dalam bernegara) ialah jika memenuhi 4 (empat) kriteria yaitu: anti Pancasila dan UUD 1945, anti NKRI, intoleran, dan bercita-cita mendirikan khilafah Islamiyah.

Terjadinya bom bunuh diri di Gereja Katedral Makasar ini menjadi bukti nyata prilaku radikal "intoleran" seperti teori di atas. Intoleran jika terjadi kepada komunitas beda agama tentu. Biasanya diawali dengan doktrin takfiri atau pengkafiran terhadap seseorang atau sekelompok orang yang tidak seakidah dengan dirinya.

Pasti doktrinasi faham takfiri ini diawali dengan monopoli klaim kebenaran. Bahwa orang-orang yang tidak seakidah dengan dirinya adalah tidak benar, adalah kafir, adalah halal darahnya dan boleh dibunuh.

Bom yang menelan korban dua orang (ditengarai pengantin) tewas dan 14 orang luka-luka ini pasti dalam rangka mewujudkan hal itu.

Doktrin tersebut biasanya diiringi dengan uforia doktrin tentang pahala dan surga yang dikemas dalam bingkai konsep jihad di jalan Allah. Jihad di jalan Allah dikemas sebagai jalan singkat untuk jalan pertobatan bagi para pendosa, dan jalan singkat untuk mengimbangi pengetahuan agama bagi orang-orang yang sejak kecil tidak mendapat pengetahuan agama yang memadai.

Subyek jalan singkat itu biasanya ditaqarkan dan dilakukan doktrinasi oleh mereka yang berfaham agama transnasional. Itu sebabnya beberapa riset mengabarkan bahwa di antara radikalis itu terdapat orang-orang eks pelaku ketidakbaikan, dan orang yang pengetahuan agamanya minim.

Kemudian jihad di jalan Allah juga dikemas sebagai jalan pintas untuk mengubah kezhaliman menjadi kebaikan. Dari sinilah muncul kemudian faham yang anti Pancasila dan UUD 45 dan anti NKRI.
Bagi mereka yang telah masuk ke dalam lingkaran yang seperti ini kemudian melahirkan faham bahwa Pancasila dan penganutnya adalah thoghut. Maka oleh karena itu NKRI yang saat ini berdasarkan Pancasila harus diubah dengan syariat Islam sebagai dasarnya.

Gerakan doktrinasi radikalisme ini sebagai bibit utama menuju faham terorisme yang berujung tindakan teror.

Sesungguhnya konsep jihad yang seperti ini merupakan penyalahgunaan terhadap teks-teks Al-Quran. Di antara sebab penyelewengan itu adalah gagal faham mereka untuk membedakan antara term jihad dan qital, yaitu tidak faham antara berjuang dengan segenap diri zhahir batin dan berperang atau membunuh.

Riset saya tentang makna jihad membuktikan: bahwa jihad itu tidak sama sekali bermakna perang fisik; tidak bermakna membunuh secara fisik; dan bahwa perang secara fisik membutuhkan jihad itu iya, sebab perang memang membutuhkan konsentrasi yang tinggi, membutuhkan pengorbanan, dan memang peperangan itu penuh kesulitan. Itupun jika harus terjadi, teks Al-Quran begitu sarat dengan keterangan etik dalam peperangan.

Jika etika perang itu tidak terpenuhi maka perang itu gugur dari nilai sebagai jihad di jalan Allah. Jadi, perang saja yang jelas-jelas halal atau boleh jika tidak memenuhi syarat etik tidak bisa disebut jihad di jalan Allah, apalagi jalan dengan bom bunuh diri.

Bagaimana Jalan Keluarnya


Kita semua menyaksikan bahwa negara dengan pasukan anti terornya seperti yang ada di Polri dan di TNI telah memenuhi tugas sebagimana mestinya bahkan boleh dibilang perangkat negara anti teror ini sangat signifikan hasilnya. Namun juga tetap saja sel-sel terorisme itu masih tersisa dan akhirnya tetap berkembang muncul menjadi gerakan teror.

Kemudian fakta yang kita lihat adalah selalu ajaran agama yang dijadikan materi doktrinasi dan alasan untuk aksi teror. Artinya, tanpa mengabaikan ikhtiar-ikhtiar yang lain dalam rangka kontra radikalisme untuk mengikis teorisne dan tindakan teror, bahwa memperhatikan pembelajaran atau pendidikan agama mutlak harus mendapat perhatian kita.

Pertama, bahwa menggagas, mewujudkan, dan mengajarkan faham moderat dalam beragama menjadi sangat penting dan strategis. Menurut saya, tidak berlebihan jika RPJMN Pemerintah saat menjadikan "Moderasi Beragama " sebagai salah satu pilar pentingnya.

Kedua, untuk mewujudkan poin pertama tadi, harus diwujudkan kefahaman agama yang mendalam. Sebab kedangkalan dalam kefahaman agama membuat orang mudah disusupi faham radikal.

Ketiga, untuk mewujudkan kedalaman kefahaman agama, kita tidak boleh basa basi dalam memberikan hak anak didik untuk mendapatkan pendidikan agama. Maksudnya pendidikan agama tidak boleh diberikan sekadarnya saja, asal bersebut ada saja. Artinya harus disediakan jam pelajaran dan jam perkuliahan yang memadai, di samping upaya-upaya kualifikasi pendidikan lainnya.

Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikn Nasional, mengatur pendidikan agama pada pasal 12 ayat 1) huruf a "Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama."

Jika kita hitung penyajian jam pelajaran agama di sekolah non madrasah saat ini hanya 3 jam pelajaran per minggu dengan durasi 40 menit per jam pelajaran atau sama dengan 120 menit atau 2 jam per minggu. Artinya sama dengan 8 jam per bulan, 96 jam per tahun, 1.152 per 12 tahun (masa SD-SMU). Jika 1.152 : 24 (jam perhari), maka dapat dihitung anak Indonesia belajar agama hanya 48 hari per 12 tahun masa sekolah.

Itu pun belum dikurang dengan bias-bias yang terjadi seperti libur bersama, halangan sekolah karena banjir atau asap karena karhutla, halangan karena sakit dan gurunya cuti, belum lagi bias karena gurunya tidak faham materi yang diajarkannya. Yang seperti ini yang saya maksud basa-basi pendidikan agama bagi anak negeri.

Dengan analisa di atas, khususnya jika dikaitkan dengan basa-basi pendidikan agama bagi anak negeri, maka sesungguhnya tidak elok kalau kita terlalu mengikutsertakan ajaran agama sebagai pemicu utama radikalisme, terorisme, dan tindakan teror.

Sebab saat ajaran agama belum kita seriusi untuk kita ajarkan kepada anak bangsa ini, terutama bagi anak-anak yang belajarnya di non madrasah dan pesantren. Oleh karena itu menurut saya, para pengampu tanggung jawab pendidikan di negeri ini harus andil dalam ikhtiar penting untuk kefahaman anak bangsa yang memadai.

Jam pelajaran agama mestinya ditambah bukan malah dihajatkan untuk dihilangkan. Persoalan anak bangsa saat ini bukan sekedar bagaiman bisa hidup sejahtera, melainkan juga bagaimana supaya baik, tidak aneh-aneh beragama, juga tidak aneh-aneh dalam berbangsa dan bernegara. Termasuk yang berhajat menghilangkan pelajaran agama di sekolah itu lebih Aneh lagi.

Saat ini di tengah keterlanjuran yang seperti ini, dalam rangka tangkal radikalisme dan terorisme, maka konsep "Moderasi Beragama" sangat strategis untuk diikhtiarkan kepada seluruh lapisan umat beragama di negeri ini. Sembari kita berikhtiar menghilangkan basa basi pendidikan agama seperti diuraikan di atas.

Dalam hal untuk mewujudkan "Moderasi Beragama" ini perlu mendapat stressing. Pertama, moderasi beragama ini harus menjadi program semua instansi dan lembaga negara di negeri ini.

Kedua
, moderasi beragama harus diupayakan oleh semua agama di Indonesia ini, dan menjadi pemahaman pokok bagi seluruh umat beragama. Untuk tugas ini tokoh agama-agama eksisting di negeri ini dapat mengupayakan dengan meng-upgrading para penyuluh agama berbasis muatan materi moderasi beragama.

Ketiga
, moderasi beragama harus menjadi muatan utama dalam kurikilum pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai tingkat Perguruan Tinggi. [red]

Dr. H. Syarif, MA

Penulis adalah Rektor IAIN Pontianak





from RMOLBanten.com https://ift.tt/2Pmnh34
via gqrds

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Terorisme Dan Moderasi Beragama"

Posting Komentar