Akankah Dinasti Politik Memengaruhi Demokrasi?

Situasi panas menjelang pemilu 2024 kini sedang melanda masyarakat Indonesia. Ketiga pasangan capres dan cawapres telah mendapatkan nomor urut serta memaparkan visi misi masing-masing. Janji-janji manis telah disebar pula agar mendapat perhatian rakyat sehingga ia mendapat banyak dukungan suara.

Sudah banyak pula oknum yang promosi pasangan jagoannya dengan menyebarkan foto yang disertai caption manis dengan tujuan mengajak para netizen yang membaca postingan tersebut untuk turut serta menjadi pendukung jagoannya. Diantara semua pasangan capres-cawapres, pasangan Prabowo-Gibran telah lebih dulu menarik perhatian masyarakat Indonesia. Isu dinasti politik yang dilakukan oleh Jokowi menuai pro-kontra belakangan ini.

Bagaimana tidak, putusan mantan ketua MK yang baru saja diberhentikan dari jabatannya yang isinya menolak gugatan minimal usia capres-cawapres tetapi menetapkan bahwa yang berusia di bawah 40 tahun dan sedang atau telah menjabat sebagai kepala daerah boleh mencalonkan menjadi capres-cawapres seakan membuka jalan untuk Gibran Rakabuming Raka putra pertama dari presiden Joko Widodo untuk maju menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Gibran sendiri merupakan seorang pengusaha yang bergerak dibidang kuliner. Tepat 1 Oktober kemarin, ia baru saja menginjak usia 36 tahun. Selain menjadi seorang pengusaha, ia juga merupakan wali kota Solo yang membuatnya memenuhi putusan MK terkait persyaratan menjadi capres-cawapres. Dengan majunya Gibran menjadi calon wakil presiden, sebenarnya berdampak positif untuk memotivasi kaula muda agar menjadi seorang pemimpin.

Namun, hal ganjal yang meresahkan publik adalah putusan MK terkait syarat calon presiden dan wakil presiden tersebut diputuskan oleh Anwar Usman yang juga merupakan paman dari Gibran. Tidak hanya itu, sang adik Kaesang Pangarep turut serta terjun ke dunia politik dengan resminya ia menjadi ketua umum PSI yang merupakan salah satu partai pendukung pasangan Prabowo-Gibran.

Lalu, Bobby Nasution yang merupakan menantu dari presiden Joko Widodo juga menjabat sebagai wali kota Medan. Dalam hal ini telah terjadi feodalisme di mana sistem kekuasaan sebenarnya terkonsentrasi dalam tangan sekelompok elit atau keluarga yang mendominasi politik. Sehingga banyak oknum yang menyebut bahwa politik Jokowi menganut KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).

Ini dapat menciptakan ilusi demokrasi tanpa memastikan partisipasi yang adil atau distribusi kekuasaan yang merata di antara masyarakat. Kemudian, prinsip demokratis yang menekankan pentingnya keragaman suara dan pandangan dalam pemerintahan akan tersingkirkan oleh satu keluarga atau kelompok yang mendominasi sehingga suara-suara lain tak dapat didengar.

Keterkaitan pihak-pihak yang diduga memuluskan jalan Gibran untuk menjadi cawapres inilah yang membuat publik bertanya-tanya, apakah Gibran layak untuk menjadi pemimpin? Apakah benar presiden Jokowi sedang melakukan dinasti politik? Apakah benar ia ingin mempertahankan kekuasaannya dengan cara menurunkan jabatannya pada putra sulungnya? Lantas apakah sistem demokrasi yang telah lama dianut oleh negeri ini akan tetap bisa bertahan? Ataukah sistem feodalisme yang akan menguasai kekuasaan negeri ini? Jika memang benar dinasti politik sedang terjadi di negeri ini, apakah demokrasi yang sering disebutkan memberi kebebasan pada rakyat akan tetap ada atau malah suara-suara rakyat dibungkam dan tak akan pernah terdengar.

Lalu, sistem meritokrasi yang seharusnya menjadi acuan untuk memilih seorang pemimpin akan sirna begitu saja berganti dengan sistem ‘orang dalam’. Relasi itu penting tetapi dalam memilih pemimpin demokrasi lebih diutamakan.

Penulis: Rida Sheyami Nurhidayah

Mahasiswa Semester 1 Ilmu Komunikasi

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Politik.

(***)

 

 

 



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Akankah Dinasti Politik Memengaruhi Demokrasi?"

Posting Komentar