APRA, Simbol Perjuangan atau Ancaman Bagi Kesatuan Bangsa?
Oleh : Ananda Naya Meisya Putri
Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia mengalami pasang surut. Sebelum merdeka, Indonesia disebut Hindia Belanda karena kekuasaan ada di tangan Belanda sehingga bisa disebut negara jajahan Belanda yang cukup lama bahkan berabad-abad. Berkat perjuangan bangsa Indonesia, pada 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dengan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini berarti sudah lepas dari cengkeraman penjajah.
Dengan adanya kemerdekaan itu, diharapkan cita-cita negara kesatuan bisa tercipta berdasarkan UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Namun demikian, untuk mencapai cita-cita negara kesatuan di atas, ternyata mengalami tantangan yang timbul dari luar maupun dari dalam. Tantangan dari luar yaitu kembalinya Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia. Adapun tantangan dari dalam seperti banyaknya pertentangan pendapat di kalangan tokoh-tokoh bangsa hingga terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang ingin mengubah bentuk negara kesatuan, bahkan ingin memisahkan diri dari NKRI.
Salah satu contohnya adalah pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). APRA dibentuk pada tahun 1949 dengan anggota utamanya adalah mantan tentara-tentara Hindia Belanda. Pemberontakan APRA ini bisa dikategorikan sebagai kudeta militer. Pemberontakannya berpusat di Kota Bandung pada 23 Januari 1950 yang sebetulnya dipicu oleh perubahan politik yang sangat signifikan.
Seperti yang kita ketahui, pada bulan Agustus hingga November 1949 dilaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda. Salah satu keputusan dalam KMB adalah membentuk Negara Federal yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari 16 negara bagian. Adapun wilayah kekuasaannya mencakup seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. KMB juga menetapkan bahwa Indonesia mengambil alih utang Hindia Belanda dan pembubaran tentara KNIL.
Hasil keputusan rapat KMB ini sebetulnya membuat kekecewaan sebagian tokoh-tokoh bangsa karena dianggap telah mempengaruhi struktur militer dan politik di Indonesia. Seiring perjalanan waktu, terjadi pertentangan di antara tokoh-tokoh bangsa baik yang tergabung dalam RIS maupun yang ada dalam NKRI. Perlu diketahui bahwa NKRI adalah negara bagian dari RIS. Pertentangan itu terkait dengan keputusan KMB soal pengambilalihan utang Hindia Belanda. Alasannya karena sebagian dari utang itu dipakai Belanda untuk menaklukkan Indonesia, di samping itu akan membawa dampak buruk yakni akan menghambat pembangunan ekonomi Indonesia di era berikutnya.
Di samping itu, banyak masyarakat Indonesia lebih suka negara kesatuan yang lebih sederhana. Struktur pemerintahan federal dianggap tidak efektif dalam mengatasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat Indonesia, sistem ini juga kurang memuaskan bagi masyarakat Indonesia karena sistem ini dikaitkan dengan warisan kolonialisme. Dengan adanya pertentangan itu, tersiar kabar bahwa dalam pemerintahan RIS terdapat keinginan untuk mengembalikan bentuk negara menjadi Negara Kesatuan.
Kabar ini tentu saja ditentang oleh tokoh-tokoh pendukung negara RIS, di antaranya adalah Raymond Westerling. Ia akhirnya membentuk pasukan sendiri yang bernama APRA yang anggotanya direkrut dari mantan prajurit KNIL atau Koninklijke Nederlands (ch)-Indische Leger. KNIL merupakan tentara bentukan Belanda. Namun, sebagian dari anggotanya juga ada orang-orang asli pribumi. Jadi, pada intinya KNIL adalah pro-Belanda.
Alasan Raymond Westerling menggunakan nama “Ratu Adil” karena ingin mendapat simpati dari masyarakat Indonesia. Ratu Adil ini diambil dari ramalan Jayabaya, yang di dalamnya terdapat ajaran bahwa akan kedatangan seorang Ratu Adil dari keturunan Turki dan akan membawa keadilan dan kesejahteraan.
APRA kemudian bergerak melakukan pemberontakan. Pusat pemberontakan terjadi di Kota Bandung pada 23 Januari 1950 di bawah pimpinan Raymond Westerling, seorang komandan Korps Speciale Troepen atau bisa disebut juga Pasukan Khusus. Pasukan APRA terdiri dari bekas pasukan KNIL. Adapun alasan Raymond Westerling mengadakan pemberontakan antara lain bahwa dari awal tidak setuju dengan keputusan KMB terutama dengan pembubaran tentara KNIL. Alasan lainnya karena menurut Raymond Westerling RIS di bawah pimpinan Soekarno dan Hatta terlalu berfokus pada wilayah Jawa saja atau dianggap terlalu “Jawa Sentris”. Ia ingin mempertahankan hak-hak dan kepentingan etnis lainnya melalui negara federal yang lebih menyeluruh atau inklusif. Selain itu, ia adalah pendukung konsep negara federal, maka dengan adanya kabar keinginan untuk kembali ke negara kesatuan, Raymond Westerling ingin mempertahankan negara Pasundan yang sudah dibentuk oleh Belanda.
Atas terjadinya pemberontakan itu, Pemerintah Pusat kemudian bergerak. Pasukan APRIS yaitu Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat diperintahkan untuk menangkap Raymond Westerling. Namun sayang, Raymond Westerling lebih dahulu kabur ke Singapura dan APRA pun dibubarkan. Dengan pembubaran itu, kekuatan APRA sudah tidak ada. Sementara itu, perjalanan Negara RIS ternyata mengalami kekisruhan di dalam kabinet. Akibatnya kondisi negara selalu terjadi pertentangan sehingga pada tahun 1950, RIS dibubarkan dan kembali ke Negara Kesatuan.
Dengan demikian, terjadinya pemberontakan APRA merupakan salah satu bukti bahwa dalam mempertahankan NKRI selalu mengalami tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Akan tetapi berkat kesadaran tokoh-tokoh bangsa, akhirnya NKRI menjadi pilihan bentuk negara yang sesuai dengan kondisi bangsa yaitu bangsa Indonesia. (*)
Penulis adalah Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Kom, FISIP Untirta
The post APRA, Simbol Perjuangan atau Ancaman Bagi Kesatuan Bangsa? appeared first on BantenNews.co.id -Berita Banten Hari Ini.
0 Response to "APRA, Simbol Perjuangan atau Ancaman Bagi Kesatuan Bangsa?"
Posting Komentar