Gerindra Minta UU Pemilu Dipertahankan, Goodbye Pilkada 2022 Dan 2023
RMOLBANTEN Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menyampaikan Partai Gerindra menolak ketentuan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada diubah dalam revisi UU Pemilu.
Dalam UU 10/2016 tersebut itu salah satu ketentuan yang dimaksud adalah pelaksanaan pilkada serentak dan pilpres dilaksanakan berbarengan pada 2024.
"Gerindra berpikir agar UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2016 yang menjadi landasan pemilu pada 2019 sebaiknya tetap dipertahankan," ujar Ahmad Muzani dalama keterangan tertulisnya, Minggu (31/1).
Pelaksanaan pilkada serentak 2024 menjadi polemik. Pasalnya, dalam draf revisi UU Pemilu yang baru, salah satu poinnya mengatur tentang pilkada berikutnya pada 2022 dan 2023 mendatang, bukan 2024 seperti yang diatur dalam UU 10/2016.
Di DPR sendiri sejumlah fraksi terbelah mengenai ketentuan tersebut.
Diawal Fraksi yang mendukung agar pilkada serentak 2024 tetap digelar di antaranya PDIP, PPP, PKB, dan Gerindra.
Sementara, fraksi yang mendukung pilkada dinormalisasi menjadi 2022 dan 2023 di antaranya NasDem dan Golkar. Golkar belakangan balik badan dan mendukung pilkda tetap digelar 2024
Lanjut Muzani, proses persiapan Pemilu 2024 bisa dilakukan dari sekarang. Hal itu dilakukan agar kualitas demokrasi dapat berjalan dengan baik.
Ia menekankan UU 10/2016 harus tetap dipertahankan demi menjaga kualitas demokrasi serta melihat situasi di masa pandemi covid-19 yang membutuhkan perhatian lebih komprehensif.
Anggota Komisi II DPR RI itu mengatakan pembahasan revisi UU Pemilu akan menghabiskan energi yang cukup besar. Sementara, saat ini Indonesia masih menghadapi situasi pandemi yang berdampak pada krisis ekonomi.
"Situasinya sekarang masih masa pandemi covid-19 di mana pembahasan secara langsung tidak dimungkinkan atau perdebatan perdebatan, yang memakan waktu dalam suatu rapat-rapat, harus dihindari," ujar Muzani.
"Sebaiknya energi kita digunakan untuk pemulihan ekonomi nasional, termasuk energi kita digunakan untuk penanganan covid-19 yang lebih komprehensif," imbuhnya.
Muzani mengungkapkan, sejak pemilu pasca reformasi 1999, Indonesia selalu mengalami perubahan tentang sistem pemilu setiap lima tahun berikutnya.
Perubahan itu mencakup sistem penghitungan suara, sistem pemilu apakah akan terbuka atau tertutup, threshold atau ambang batas yang selalu naik, hingga konversi suara menjadi kursi, dan dapil yang juga selalu bertambah.
"Ini yang menyebabkan kemudahan membuat pola pemilihan umum tidak pernah ajeg dan tidak pernah bisa dilakukan perbaikan kualitasnya karena sistemnya selalu berubah. Partai politik selalu menyesuaikan dengan UU yang baru setiap lima tahun," paparnya.
Dengan meminta UU Pemilu dipertahankan, secara tak langsung Gerindra juga menolak normalisasi pemilihan kepala daerah 2022 dan 2023. Rencana normalisasi pilkada itu tertuang dalam draf RUU Pemilu yang dibuat Komisi II DPR. [dzk]
from RMOLBanten.com https://ift.tt/2Yxord0
via gqrds
Dalam UU 10/2016 tersebut itu salah satu ketentuan yang dimaksud adalah pelaksanaan pilkada serentak dan pilpres dilaksanakan berbarengan pada 2024.
"Gerindra berpikir agar UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2016 yang menjadi landasan pemilu pada 2019 sebaiknya tetap dipertahankan," ujar Ahmad Muzani dalama keterangan tertulisnya, Minggu (31/1).
Pelaksanaan pilkada serentak 2024 menjadi polemik. Pasalnya, dalam draf revisi UU Pemilu yang baru, salah satu poinnya mengatur tentang pilkada berikutnya pada 2022 dan 2023 mendatang, bukan 2024 seperti yang diatur dalam UU 10/2016.
Di DPR sendiri sejumlah fraksi terbelah mengenai ketentuan tersebut.
Diawal Fraksi yang mendukung agar pilkada serentak 2024 tetap digelar di antaranya PDIP, PPP, PKB, dan Gerindra.
Sementara, fraksi yang mendukung pilkada dinormalisasi menjadi 2022 dan 2023 di antaranya NasDem dan Golkar. Golkar belakangan balik badan dan mendukung pilkda tetap digelar 2024
Lanjut Muzani, proses persiapan Pemilu 2024 bisa dilakukan dari sekarang. Hal itu dilakukan agar kualitas demokrasi dapat berjalan dengan baik.
Ia menekankan UU 10/2016 harus tetap dipertahankan demi menjaga kualitas demokrasi serta melihat situasi di masa pandemi covid-19 yang membutuhkan perhatian lebih komprehensif.
Anggota Komisi II DPR RI itu mengatakan pembahasan revisi UU Pemilu akan menghabiskan energi yang cukup besar. Sementara, saat ini Indonesia masih menghadapi situasi pandemi yang berdampak pada krisis ekonomi.
"Situasinya sekarang masih masa pandemi covid-19 di mana pembahasan secara langsung tidak dimungkinkan atau perdebatan perdebatan, yang memakan waktu dalam suatu rapat-rapat, harus dihindari," ujar Muzani.
"Sebaiknya energi kita digunakan untuk pemulihan ekonomi nasional, termasuk energi kita digunakan untuk penanganan covid-19 yang lebih komprehensif," imbuhnya.
Muzani mengungkapkan, sejak pemilu pasca reformasi 1999, Indonesia selalu mengalami perubahan tentang sistem pemilu setiap lima tahun berikutnya.
Perubahan itu mencakup sistem penghitungan suara, sistem pemilu apakah akan terbuka atau tertutup, threshold atau ambang batas yang selalu naik, hingga konversi suara menjadi kursi, dan dapil yang juga selalu bertambah.
"Ini yang menyebabkan kemudahan membuat pola pemilihan umum tidak pernah ajeg dan tidak pernah bisa dilakukan perbaikan kualitasnya karena sistemnya selalu berubah. Partai politik selalu menyesuaikan dengan UU yang baru setiap lima tahun," paparnya.
Dengan meminta UU Pemilu dipertahankan, secara tak langsung Gerindra juga menolak normalisasi pemilihan kepala daerah 2022 dan 2023. Rencana normalisasi pilkada itu tertuang dalam draf RUU Pemilu yang dibuat Komisi II DPR. [dzk]
from RMOLBanten.com https://ift.tt/2Yxord0
via gqrds
0 Response to "Gerindra Minta UU Pemilu Dipertahankan, Goodbye Pilkada 2022 Dan 2023"
Posting Komentar